BELAJAR TENTANG
NILAI-NILAI PLURALISME ISLAM JENDERAL CHENG HO MELALUI SINKRETISMED ABANGAN,
ISLAM, TAOISME, DAN BUDHA DI KLENTENG SAN PO
KONG
Dian Maya Safitri*
ABSTRACT
This paper attempts to describe
the tolerance among various religious rituals and groups in Sam Po Kong temple
in Semarang. This kind of religious harmony is the reflection of General Cheng
Ho’s pacifist and pluralist characteristic to non-Muslims, particularly the
Chinese. This phenomenon is well-suited with Geertz’s dictum : religion is the
model of and for reality. Next, through fieldwork research and anthropological
approach, I figured out that there exists syncretism of Javanese abangan,
Islam, Taoism, and Buddhism. By using Geertz and Durkheim’s functionalist
theories, I will classify religious communities in Sam Po Kong temple into
three groups that worship different transcendent. The beginning of this paper
will depict the historical adventure of Cheng Ho, as the principal figure in
this Sam Po Kong shrine. The next part explains the Geertz and Durkheim
theories as the bases for this paper’s analysis. The third part accounts the
instances of Javanese abangan, Islamic, Tao, and Buddhist influences existing
in this pantheon. The remainder of this paper will argue that Indonesian
muslims, who are considered as the largest Muslim community in the Islamic
world, should learn the values of tolerance and pluralism through Cheng Ho’s
wisdom in order to eliminate the concept of “religious Other” .
Key words: syncretism, Sam Po Kong temple, General Cheng Ho, pluralism
ABSTRAK
Makalah ini bertujuan untuk mendeskripsikan
tentang sikap toleran di antara bermacam-macam ritual dan kelompok agama di
Klenteng Sam Po Kong di Semarang. Harmoni keagamaan seperti ini merupakan cerminan
dari karakter Jendral Cheng Ho yang pluralis dan cinta damai terhadap non
Muslim, terutama orang Cina. Fenomena semacam ini sesuai dengan pendapat Geertz
bahwa agama merupakan model dari dan untuk realitas. Melalui penelitian
lapangan dan pendekatan antropologi, saya menemukan bahwa ada sinkretisme
antara abangan, Islam, Tao, dan Budha. Dengan menggunakan teori Geertz dan
fungsionalis Durkheim, saya akan mengklasifikasikan komunitas agama di Klenteng
Sam Po Kong menjadi tiga bagian yang masing-masing menyembah transenden yang
berbeda. Permulaan makalah ini akan menceritakan petualangan historis Cheng Ho
sebagai sosok utama di Klenteng Sam Po Kong. Bagian selanjutnya akan
menjelaskan teori Geertz dan Durkheim yang menjadi dasar analisis makalah ini.
Bagian ketiga berisis tentang contoh-contoh pengaruh abangan, Islam, Tao, dan
Budha di Klenteng Sam Po Kong. Bagian terakhir dari makalah ini merupakan
argumen penulis yang menyatakan bahwa Muslim di Indonesia, yang dianggap
sebagai komunitas Muslim terbesar di dunia, seharusnya belajar nilai-nilai
toleransi dan pluralism dari sikap bijaksana Cheng Ho untuk menghilangkan
konsep “komunitas beragama yang lain”.
Kata kunci: sinkretisme, Klenteng Sam Po Kong, Jendral
Cheng Ho, pluralisme
Pendahuluan
Dalam banyak catatan
sejarah di Indonesia, Islam selalu mengalami sinkretisme[1]
dengan budaya lokal sehingga dapat mudah diterima oleh masyarakat setempat.
Perpaduan antara agama dan budaya lokal ini kemudian memunculkan ciri khas
tersendiri dalam komunitas Muslim Indonesia yang akhirnya memperkaya
keberagaman di negeri ini. Tak hanya itu, banyaknya variasi “Islam” di
Indonesia akibat pertemuan dengan budaya lokal telah menjadikan “Islam a la
Indonesia” berbeda dengan “Islam versi Turki”, “Islam Timur Tengah”, “Islam
Bosnia”, dll. Maka, tak heran kalau WC Smith mengatakan bahwa kata “Islam” itu
bukanlah singular, melainkan plural (Islams)[2].
Bahkan, Kwame Anthony Appiah menyatakan bahwa dalam dunia modern kini, agama
telah berfungsi menjadi suatu identitas sosial[3].
Proses dakwah Islam di Pulau Jawa termasuk
menarik karena melibatkan budaya lokal, seperti yang dilakukan oleh Wali Songo.
Menurut Ayzumardi Azra, Islam di Jawa merupakan proses percampuran antara great tradition atau Islam normatif
dengan little tradition atau yang
disebut juga dengan local tradition[4].
“Hal ini terjadi karena Islamisasi yang terjadi di Indonesia, terutama di Jawa,
lebih bersifat kontinuitas apa yang sudah ada dan bukannya perubahan dalam
kepercayaan dan praktik keagmaan lokal[5].
Di Klenteng Sam Po
Kong di Semarang, sinkretisme antara agama-agama besar dunia, seperti Islam,
Taoisme, dan Budha, dan budaya lokal yang berupa abangan[6] juga tidak dapat
dielakkan. Keunikan berbagai sinkretisme ini menciptakan tiga kelompok kuil
yang memiliki transenden (suatu kekuatan luar biasa yang disembah, terj.
penulis) yang berbeda-beda. Pada kuil
yang pertama, transenden yang disembah adalah Laksamana Cheng Ho melalui Gua
Suci Sam Po Kong. Sementara itu, pengikut kuil yang kedua menyembah makam Mbah
Juru Mudi. Kuil yang terakhir dipenuhi oleh mereka yang ingin berdoa pada Dewa
Bumi.
Pengunjung yang ingin melihat Klenteng Sam Po Kong
pun terdiri dari kaum lintas agama dan lintas etnis, seperti orang Muslim,
Cina, dan Jawa untuk bermacam tujuan yang berbeda. Orang Muslim ingin menegnal
lebih dekat sosok Cheng Ho melalui peninggalannya. Orang Cina ingin menghormati
Cheng Ho sebagai leluhur mereka yang telah membawa nama baik bagi bangsa Cina,
meskipun ia beragama Islam. Sementara itu, orang Jawa yang abangan ingin melakukan
semedi di kuil Mbah Juru Mudi. Semua keberagaman ini adalah warisan dari sifat
dan sikap Cheng Ho yang sangat toleran terhadap perbedaan. Kisah tentang
petualangan Cheng Ho dan karakter pluralisnya yang tersohor akan dijelaskan
pada bagian berikut.
Laksamana Cheng
Ho, Sang Penjelajah Berhati Mulia dari Timur
Nora C. Buckley
menyebutkan bahwa Cheng Ho adalah seorang Muslim keturunan
Arab-Mongol yang memiliki nama asli Ma Ho.
Pada tahun 1381, ia dikirim ke istana milik Dinasti Ming bersama-sama dengan
beberapa anak muda lainnya untuk melindungi selir-selir kaisar. Karena itulah,
ia mendapatkan pelatihan di sekolah militer khusus untuk menjadi prajurit
cadangan di medan tempur. Nama “Cheng Ho” ia dapatkan untuk menghargai
keberanian dan pengabdiannya[7].
Sementara itu, terdapat bermacam-macam pendapat di kalangan sejarawan
mengenai makna nama “Sam Po” (atau “San
Bao” dalam bahasa Tiongkok). “San”
artinya “tiga”, sedangkan “Bao” bermakna “pelindung” dan “pusaka”. Menurut Kong
Yuanzhi, yang paling memungkinkan adalah pendapat bahwa “San Bao” yang bermakna
“tiga pusaka” dalam agama Budha, yaitu Budha, biksu, dan kitab suci agama Budha[8].
Pendapat ini didukung oleh Buckley yang menyatakan bahwa laksamana Cheng Ho
memang memilih gelar Budha “Sam Po” sebagai penghormatan atas tiga kebajikan[9].
Nama “Kong”—yang hanya terkenal di kalangan orang Cina Semarang—bermakna
“seorang leluhur yang dihormati” [10].
Selama dua puluh tahun selanjutnya, Cheng Ho
sukses dalam memimpin tujuh misi pelayaran kekaisaran ke 37 negara di pesisir
Indocina, Samudera Hindia, Teluk Persia, Laut Merah, dan pesisir timur Afrika
dengan menggunakan lebih dari 1.500 kapal yang canggih serta 28.000 kekuatan
tentara dan ahli kelautan[11].
Bahkan, berdasarkan penelitian Prof. Yuanzhi, kehebatan kapal-kapal Cheng Ho
selama ekspedisi maritim jauh melebihi para bahariwan barat yang termasyhur di
masa lampau, seperti Columbus, Vasco da Gama, dan Ferdinand Magellan. Di
samping itu, susunan armada Cheng Ho sangat termanajemen dengan baik dengan
cara membagi armadanya menjadi 4 bagian, yaitu bagian komando, bagian teknik
navigasi, bagian kemiliteran, dan bagian logistik[12].
Kelebihan lain yang dimiliki Laksamana Cheng Ho
jika dibandingkan dengan penjelajah barat lainnya adalah sikap bijaksana,
toleransi, serta kepemimpinannya yang selalu menggunakan pendekatan damai.
Sudah jamak diketahui bahwa para bahariwan Barat yang menjelajah negeri-negeri
yang lain pada waktu itu melaksanakan prinsip “gold, gospel, glory”, atau menjajah negeri asing yang mereka temukan
demi kejayaan kerajaan Eropa, sekaligus mengeruk semua kekayaan yang ada di
negeri tersebut sembari menyebarkan agama Kristen. Pada praktiknya, pendekatan
yang digunakan para penjelajah barat umumnya adalah dengan cara memerangi suku
setempat. Bahkan, banyak juga anggota suku yang dipaksa untuk belajar budaya
Barat, berbahasa Spanyol atau Portugis, dan masuk Kristen, seperti yang terjadi
pada suku Indian di Amerika Latin.
Hal ini sangat berbeda dengan apa yang dilakukan
Jendral Cheng Ho. Walaupun seorang Muslim, ia tetap menghormati budaya lokal
dan tidak memaksa penduduk setempat untuk memeluk agama Islam. Ia juga
menghormati awak kapalnya yang sebagian besar melaksanakan ritual agama Tao dan
Budha. Contohnya, ia tidak pernah melarang anak buahnya untuk menyembah Dewi
Sakti yang dipercaya sebagai pelindung di laut jika ada badai[13]. Bukti lain dari sikap toleran Cheng Ho adalah
diundangnya Fei Huan, seorang pendeta agama Budha untuk ikut serta dalam
pelayaran ke Samudera Hindia[14].
Cheng Ho juga menanamkan sikap perdamaian sejak dini kepada seluruh anak
buahnya. Menurut Buya Hamka dalam Star
Weekly pada tanggal 18 Maret 1961, Cheng Ho mengatakan kepada awak kapalnya
bahwa tidak banyak senjata pembunuh di dalam kapal. Yang banyak justru “senjata
budi” yang akan dipakai untuk menghadapi para raja negeri asing nantinya[15].
Dalam hubungannya dengan negara yang disinggahi
oleh kapalnya, Cheng Ho termasyhur sebagai mediator yang berjasa dalam
menangani konflik internal dan regional. Pada tahun 1409, ia menjadi penengah
dalam perjanjian damai antara Malaka
(sekarang Malaysia) dan Siam (sekarang Thailand). Di Malaysia, ia pernah
membantu raja setempat untuk melindungi Putri Han Li Bao, calon istri Sultan
Mansyur Syah. Selama perjalanan menuju “Pelabuhan Lama” atau Ba Lin Bang
(sekarang disebut dengan Palembang), ia sukses menaklukkan Chen Zhu Yi, seorang
perompak terkenal, beserta 5.000 anak buahnya. Yang terakhir, Cheng Ho
menjadi tokoh utama dalam gencatan senjata untuk perang saudara antara Zainal
Abidin dan Iskandar (Su Gan La).[16]
Jasa-jasa Cheng Ho yang besar akhirnya bermanfaat untuk mempererat persahabatan
antara Kekaisaran Cina dan raja-raja di negeri-negeri yang ia datangi. Bahkan,
awak kapalnya ada yang menikahi penduduk setempat, seperti Sam Po Soei Soe yang
beristrikan seorang gadis Betawi[17]. Posisi diplomatik Cheng Ho juga diperkuat dengan
kehadiran Shen-Hui, seorang biksu Budha, dan Hasan, Imam Masjid Ching Chin di
Siam[18].
Maka, wajar jika para penguasa negeri asing yang ia singgahi memberikan balas
jasa berupa barang-barang perdagangan dan tanaman serta binatang-binatang yang
eksotis, seperti Raja Hulumosi dari Iran yang memberikan Jerapah[19].
Kepopuleran dan kebaikan hati Cheng Ho ternyata
memberikan kesan yang mendalam bagi para penduduk di negeri-negeri yang ia
singgahi. Untuk mengenang Laksamana Cheng Ho, maka didirikanlah Klenteng Sam Po
Kong, tak hanya di Semarang, tapi juga di negara lain, seperti Malaysia,
Thailand, dan Singapura. Uniknya,
kesemua Klenteng Sam Po Kong ini menjadi perekat hubungan antar etnis,
khususnya Melayu-Muslim dan Cina-Budha. Contohnya, Klenteng Sam Po Kong di
Malaysia dijaga oleh seorang Muslim Melayu yang bernama Abdulah Bakar atas
perintah suatu partai Islam di Malaysia, meskipun yang berkunjung ke klenteng
tersebut semuanya adalah keturunan Tionghoa yang beragama Budha ataupun yang
menyembah nenek moyang. Di Indonesia pun, seperti yang telah penulis sebutkan
sebelumnya, pengunjung klenteng Sam Po Kong terdiri dari berbagai macam agama
dengan berbagai macam tujuan, seperti Jawa-Muslim yang ingin melihat
peninggalan Cheng Ho, Tionghoa-non Muslim yang ingin berdoa pada Cheng Ho,
serta kaum abangan yang ingin mencari wangsit. Selain itu, kesamaan yang lain
di semua Klenteng Cheng Ho adalah disembahnya Cheng Ho karena ia dianggap sebagai
dewa[20].
Di bagian selanjutnya, penulis akan
mendeskripsikan tentang Klenteng Cheng Ho di Semarang yang menjadi salah satu
objek wisata favorit di Indonesia.
Klenteng Sam Po Kong di
Semarang: Miniatur Bhinneka Tunggal Ika Melalui Sosok Sang Laksamana
Klenteng Sam Po Kong terletak di kawasan Gedung
Batu, Semarang. Istilah “klenteng” diambil dari bahasa Indonesia dan tidak
dikenal di dataran Cina. Kata “klenteng” terinspirasi dari bunyi
“klenteng-klenteng” atau “klinting-klinting” yang berasal dari genta-genta
kecil[21].
Dahulu, klenteng ini merupakan sebuah masjid yang
didirikan oleh para keturunan Tionghoa Muslim di Semarang. Cheng Ho sempat
mengunjungi masjid ini di tahun 1413. Kemudian, ketika Jin Bun datang ke
Semarang pada tahun 1474, masjid ini telah diubah menjadi sebuah klenteng.
Sejak saat itu, klenteng tersebut tetap menjadi tempat ibadah bagi keturunan
Tionghoa non-Muslim, walaupun Jin Bun yang seorang Muslim akhirnya menjadi
Sultan Demak. Sifat Jin Bun yang simpatik diapresiasi dengan baik oleh para
keturunan Tionghoa non-Muslim di Semarang[22].
Sementara itu, versi cerita tentang sejarah
pendirian Klenteng Sam Po Kong yang lain diungkapkan oleh Prof. Kong Yuanzhi.
Ia menceritakan bahwa Klenteng Sam Po Kong mulanya hanyalah gua yang dikeramatkan
dan hanya terdiri dari sebuah patung Laksamana Cheng Ho untuk menghormati
kebaikannya. Wang Jinghonglah yang menbangun patung tersebut, sedangkan gua
yang menjadi tempat ibadah tadinya adalah tempat peristirahatan sementara untuk
mengobati Wang Jinghong yang kala itu sedang sakit keras. Wang Jinghong dan anak buahnya kemudian
menetap di Semarang hingga akhir hayatnya.
Ia dikebumikan secara Islam dan makamnya termasuk sebagai salah satu
objek yang disembah di kuil Sam Po Kong. Oleh masyarakat Cina Semarang, ia
dijuluki Mbah Kiai Juru Mudi Dampo Awang atau Mbah Juru Mudi. Sayangnya, pada
abad ke-19, area Gedung Batu dikuasai oleh seorang Yahudi bernama Johannes yang
tamak dan meminta bayaran bagi orang Cina yang ingin beribadah di Klenteng
tersebut. Seorang pengusaha Tionghoa bernama Oei Tjie Sien atau “Raja Gula”
akhirnya berhasil membeli tanah di Gedung Batu milik Johannes dan membebaskan
kaum Tionghoa untuk beribadah kembali[23].
Kini, Klenteng Sam Po Kong di bawah Yayasan
Klenteng Sam Po Kong berkembang dengan sangat baik dan termanajemen dengan
rapi. Klenteng ini dipugar dan wilayahnya diperluas. Arsitektur Klenteng ini
merupakan perpaduan dari budaya Jawa dan budaya Cina. Di hampir seluruh area
klenteng ini, terdapat pahatan gambar kapal
Sam Po Kong dan naga sebagai makhluk suci yang dipercaya oleh orang Cina
sebagai kekuatan gaib yang menguasai dunia. Kawasan
ini “dijaga” oleh empat jenderal yang disimbolkan dalam bentuk patung. Sebagian
dari patung ini menyerupai manusia biasa, sedangkan dua sisanya mirip dengan
gambaran dewa-dewa Cina, dengan janggut panjang, wajah yang unik, dan pakaian
dengan atribut khusus[24].
Klenteng ini terdiri dari tiga bagian utama, yaitu
Kuil Sam Po Kong, kuil Mbah Juru Mudi, dan kuil Dewa Bumi. Kesemua kuil ini memiliki arsitektur yang
mirip dan didasarkan pada arsitektur Istana Terlarang di Cina dengan ciri khas
gaya atap yang bertumpuk tiga yang melambangkan kelopak teratai. Warna yang dominan pada setiap bangunan di
Klenteng Sam Po Kong adalah merah, kuning, dan hijau. Dalam budaya Cina, warna
merah melambangkan kebahagiaan dan menolak pengaruh jahat, warna hijau
merepresentasikan warna alam, dan warna kuning adalah warna kekaisaran[25].
Sedangkan , sentuhan budaya Jawa terlihat dari pendopo di pintu gerbang, patung
togog, dan ukir-ukiran di beberapa bagian klenteng.
Konsep
Durkheim’s and Geertz tentang Agama
Emile Durkheim, seorang antropolog terkenal,
mendefinisikan agama sebagai sesuatu yang fungsional, maksudnya sebagai wadah
yang bisa menyatukan emosi mendalam pada sekelompok orang tertentu melalui
simbol dan ritual yang ia sebut sebagai “kendaraan” bagi perasaan sosial. Agama
juga menjadi tempat bagi pengikutnya untuk [26]. Jika teori ini diaplikasikan dalam konteks
Klenteng Sam Po Kong, maka tiga kelompok ibadat yang menyembah transenden yang
berbeda di tiga kuil memiliki “kendaraan” sendiri (yang akhirnya dianggap
sebagai “agama” oleh masing-masing kelompok) yang berfungsi menyatukan
masing-masing komunitas. Seperti yang penulis kemukakan di awal makalah, Mehta
berpandangan bahwa pada akhirnya agama menjadi identitas sosial.
Selain Durkheim,
selama observasi di lapangan, penulis akhirnya menemukan bahwa konsep Clifford
Geertz tentang agama juga dapat menjadi kerangka teori yang sesuai untuk
menganalisis fenomena religius yang terjadi di
Klenteng Sam Po Kong. Geertz memaknai
agama sebagai berikut[27] :
Religion is (1) a system of
symbols which acts to (2) establish powerful, pervasive, and long-lasting moods
and motivations in men by (3) formulating conceptions of a general order of
existence and (4) clothing these conceptions with such an aura of factuality
that (5) the moods and motivations seem uniquely realistic.
Secara
sederhana, Pals menyatakan bahwa agama adalah suatu sistem simbol yang mana di balik symbol tersebut terdapat ide-ide
yang akan disampaikan kepada pengikutnya. Ide
tersebut sangat kuat dan dapat memberikan perasaan damai dan kebahagiaan bagi
orang yang melakukan ritual “agama”. Kemudian, perasaan positif tersebut akan
menghasilkan “pandangan dunia yang tertinggi”. Kombinasi dari simbol, perasaan,
dan pandangan dunia akan menciptakan karakter tertentu dalam setiap ritual
keagamaan[28].
Lebih lanjut, Geertz
menambahkan bahwa “agama merupakan model atas dan dari kenyataan”. Dengan kata lain, simbol dapat membentuk realitas,
dan sebaliknya, realitas dapat membentuk simbol. Pada bagian selanjutnya, akan
dibuktikan bagaimana simbol dapat membentuk “kenyataan” bahwa seakan-akan
transenden yang disembah di tiga kuil tersebut terlihat seakan-akan nyata. Realitas
bahwa Laksamana Cheng Ho adalah seseorang yang menghargai perbedaan, dan juga
fakta bahwa masyarakat Semarang begitu pluralis, telah memunculkan
simbol-simbol sinkretisme di Klenteng Sam Po Kong.
Kuil Pertama sebagai
Penghormatan pada Laksamana Cheng Ho
Di kuil yang pertama, transenden yang disembah adalah Laksamana Cheng Ho
karena, meskipun ia seorang Muslim, ia dianggap berjasa dalam melindungi kaum
Tionghoa non-Muslim di Semarang, sekaligus juga dipercaya memiliki kekuatan
gaib. Di samping itu, beberapa kaum
Tionghoa yang berdoa pada laksamana Cheng Ho ada yang berpendapat bahwa ia
adalah seorang leluhur yang musti disembah[29]. Menurut Joseph Gaer, masyarakat Cina memang terkanal sebagai pemuja
roh-roh leluhur, roh-roh orang bijaksana, dan roh-roh para pahlawan dan raja[30].
Sebenarnya, di kuil pertama ini hanya ada gua suci Sam Po Kong di mana
ia dapat menggunakan kekuatan supranaturalnya di sini[31]. Di dalam gua ini terdapat sebuah sumur yang dipercaya oleh sebagian
anggota komunitas kuil pertama dapat membawa Cheng Ho ke Cina dengan hanya
memasuki sumur tersebut. Versi yang lain yang penulis dapat dari guide Klenteng
Sam Po Kong, menyebutkan bahwa sumur tersebut dulunya digunakan oleh Cheng Ho
untuk mengambil air wudlu.
Menyembah sumur merupakan bukti dari sinkretisme antara
abangan dan Islam. Bagi kaum Muslim,sumur dianggap sakral karena tak hanya berfungsi
sebagai penyedia air bagi masyarakat sekitar, namun juga simbol kesucian karena
dipakai untuk berwudlu. Di masa lampau, Ali, Usman, pemuka Islam, dan para wali
membangun sumur untuk menunjukkan pengabdian mereka terhadap Islam. Akan
tetapi, kaum abangan justru menyembah sumur, memberikan sesembahan, dan
melaksanakan upacara di dekat sumur. Aktivitas semacam ini dikenal dengan nyadran[32].
Jika dianalisis dengan teori Geertz, sumur maupun gua suci Cheng Ho telah
memunculkan suatu serangkaian simbol yang menyebabkan timbulnya mood dan motivasi di antara anggota kuil
pertama untuk menyembah benda-benda yang dianggap keramat tersebut. Setelah
itu, mereka mendapatkan ″pandangan dunia″ yang membuat mereka percaya bahwa
Cheng Ho adalah orang suci yang dapat mengabulkan permintaan mereka, walaupun
ia tak hadir di sana. Karena itulah, di kuil ini banyak terdapat “surat-surat
doa dan harapan” yang digantungkan di langit-langit kuil.
Sementara itu, jika
menggunakan pendekatan Durkheim, keyakinan yang berpusat pada klaim bahwa gua
suci Cheng Ho memiliki “kekuatan supranatural” telah menjadi “kendaraan” utama
yang menyatukan para pengikut kuil pertama ini.
Pengaruh Islam juga
didapati pada bedug yang diletakkan di dalam kuil. Bedug semacam ini tidak
didapati di dua kuil lainnya. Dalam ritual Budha dan Tao, tidak ada ritual yang
menggunakan bedug. Ukuran dan bentuk
bedug di kuil pertama ini sangat mirip dengan bedug yang ada di masjid. Hanya
warna merah yang membuatnya berbeda dengan bedug-bedug yang lainnya.
Ada pula pengaruh Budha di kuil ini, berupa
lonceng besar yang digunakan untuk memfokuskan
pikiran selama meditasi. Contoh lainnya adalah
8 Pak Shien[33]
yang mengelilingi patung Cheng Ho. Sedangkan pengaruh Tao dapat dilihat dari
jumlah genap dari lilin besar di halaman kuil yang merupakan represntasi dari
keseimbangan yin dan yang[34].
Kuil
Kedua sebagai Tempat untuk Menyembah Kuburan Mbah Juru Mudi
Kuil yang kedua berikut ini ditujukan untuk menyembah
makam mbah juru mudi. Tidak hanya arwahnya yang dipercaya menjaga tempat
ini, namun jasadnya juga dikebumikan di tempat ini. Fenomena ritual keagamaan
semacam ini berakar dari tradisi Islam dan abangan di Indonesia. Bedanya, kaum
Muslim non-abangan mengunjungi makam di hari besar Islam (seperti Idul Fitri)
untuk mendoakan yang sudah meninggal, sedangkan pengikut abangan berziarah
kubur di hari spesial menurut penanggalan Jawa (seperti Jumat Kliwon, Muharram, dll.) dengan tujuan
untuk meminta berkah sang arwah. Nur
Syam berargumen bahwa masyarakat umumnya lebih memilih makam orang-orang yang
dianggap memiliki kekuatan supranatural, seperti makam Mbah Modin Asyari
di Tuban. Di makam tokoh yang dikeramatkan itu pula, biasanay terdapat juru
kunci yang bertugas menjaga makam dan menjadi guide bagi para pengunjung[35]. Juru kunci semacam ini juga terdapat di kuil
kedua.
Selain makam mbah juru mudi, ada tempat lain yang biasanya
dipakai para peziarah untuk berdoa dan bermeditasi, yaitu pohon besar yang
letaknya persis di samping makam. Gelar “mbah” per se berasal dari bahasa Jawa yang
diberikan kepada orang-orang yang memiliki “keahlian khusus”[36]. Tak
hanya Tionghoa non-Muslim yang meminta berkah dari makam ini, namun orang Jawa
pengikut abangan juga rutin mengunjunginya.
Nisan mbah juru mudi
itu sendiri sangat Islami, dengan tulisan Arab yang berupa syahadat di kain
penutup peti jenazah. Pada kedua sisi makam, terdapat arca yang persis dengan arca yang pernah penulis lihat di gerbang sebuah kuil Hindu di
Yogyakarta. Patung-patung ini dianggap sebagai “penjaga” makam. Budaya Jawa
sangat mempengaruhi munculnya arca-arca penjaga seperti ini. Pengaruh dari
budaya Jawa yang lain adalah ukiran dan tulisan dengan alphabet Jawa yang
berdampingan dengan tulisan Cina.
Ritual penyembahan semacam ini dapat dianalisis
menggunakan pemikiran Geertz dan Durkheim. Bagi Geertz, keyakinan akan kekuatan gaib mbah juru mudi telah memotivasi dan menggerakkan orang untuk berdoa di
makam ini. Sementara itu, teori Durkheim tentang “ suatu perkumpulan sebagai
hal yang sakral” dibuktikan dengan bersatunya kaum abangan dan Cina melalui
perasaan komunal yang mempercayai bahwa mbah
juru mudi dapat mengabulkan permintaan mereka.
The Combination Between Taoism and Javanese
Abangan Belief in the Third Temple
Kuil ketiga ini
merupakan kuil yang paling unik jika dibandingkan dengan kedua kuil sebelumnya karena
transenden yang disembah adalah Dewa Bumi, bukan sosok tokoh terkenal seperti
Cheng Ho dan mbah juru mudi. Dengan kata lain, para anggota kuil ketiga
ini menyembah sesuatu yang abstrak dan sulit untuk diimajinasikan seperti apa
rupanya.
Menurut keterangan Sudiyono, salah satu juru kunci di Klenteng Sam Po Kong,
konsep Dewa Bumi merupakan pengaruh dari kepercayaan Jawa yang menyembah danjang.
Namun,
meskipun sangat mirip, Dewa Bumi berbeda dengan
danjang untuk beberapa hal. Pertama, danjang biasanya
diyakini sebagai arwah dari figur sejarah yang telah tiada[37],
sedangkan Dewa Bumi tidak menjadi representasi bagi orang yang meninggal. Dewa
Bumi lebih dianggap sebagai salah satu karakter dewa Cina yang memiliki nama Hok Tek Ching Shin,
Fu Te Cheng Sen, or Ta Pe Kong[38]. Kedua,
para penyembah danjang diharuskan untuk melaksanakan slametan, sedangkan
para pemuja Dewa Bumi hanya cukup berdoa padanya. Yang terakhir, danjang
tidak membutuhkan “partner” dalam melaksanakan tugasnya, sementara Dewa
Bumi “ditemani” oleh dua dewa lain yang melindungi kuil tersebut, yaitu Dewa
Bulan dan Dewa Matahari. Pasangan dewa langit seperti
ini terinspirasi dari ajaran Tao akan keseimbangan yin dan yang.
Kesimpulannya, di kuil ketiga ini penulis dapat menemukan sinkretisme antara
tradisi abangan dan Tao.
Kemudian, jika kita masuk pada kerangka teori Geertz, seperangkat
sistem simbol di kuil ketiga ini telah menciptakan motivasi pada siapapun yang
percaya akan kekuatan Dewa Bumi untuk
menyembahnya dan menganggap bahwa Dewa Bumi, sebuah wujud yang abstrak,
seakan-akan benar-benar nyata. Sementara itu, dalam kacamata konsep Durkheim,
keyakinan yang sama akan suatu transenden yang bernama Dewa Bumi telah mengikat
para penyembahnya menjadi satu kesatuan komunitas keagamaan.
Belajar dari Cheng Ho : Toleransi dan Pluralisme terhadap Komunitas Agama yang
lain (Religious Others)
Sekarang, setelah kita belajar sejarah kegigihan
Cheng Ho dalam menyebarkan
semangat pluralisme terhadap agama lain, sudah seharusnya kita berusaha untuk
meniru sikap Cheng Ho tersebut dengan cara menghargai tradisi lokal dan ritual
yang beragam di sekitar kita. Dalam Al-Quran pun, berkali-kali ditekankan tentang
pentingnya pluralisme, seperti dalam Surat Al-Hujurat ayat 13 :
″Hai
manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan
perempuan dan menjadikan kamu
berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling mengenal. Sesungguhnya
yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah adalah orang yang paling
bertakwa di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal”
Allah mengingatkan lagi tentang tujuan keberagaman
manusia dalam Surat Hud ayat 118 :
“Jikalau Tuhan menghendaki, tentu Dia menjadikan manusia satu, tetapi
mereka senantiasa
berselisih pendapat”
Dan Allah mengulanginya lagi dalam Surat Al-Maidah
ayat 48:
“...Sekiranya Allah menghendaki, niscaya kamu dijadikanNya satu umat
(saja), tetapi Allah hendak menguji kamu terhadap pemberian-Nya. Hanya kepada
Allah-lah kembali kamu semuanya, lalu diberitahukanNya kepadamu apa yang telah
kamu perselisihkan itu”
Kini, jika kita benar-benar berusaha untuk
memahami ayat-ayat Al-Quran di atas, jelas bahwa Allah memang sengaja
menciptakan masyarakat dunia yang pluralis agar kita semua belajar untuk saling
menghargai perbedaan pendapat dan juga kepercayaan. Itulah sebabnya Allah
menggunakan kata mukhtalifin dalam
Surat Hud yang berarti perbedaan yang berkonotasi positif, bukan syiqaq yang maknanya perbedaan yang
berkonotasi negatif[39].
Setelah mengenal lebih jauh tentang sikap mulia
Laksamana Cheng Ho terhadap non-Muslim, yang bahkan hingga kini semangat
toleransinya masih dapat dirasakan di Klenteng Sam Po Kong Semarang, kita harus
mulai sadar bahwa konflik dan kekerasan dalam menghadapi religious others bukanlah cerminan Islam yang rahmatal lil alamin. Islam yang sesungguhnya adalah Islam yang
menyejukkan dan menimbulkan kedamaian serta kebahagiaan bagi Muslim dan
non-Muslim. Islam yang sejati adalah Islam yang banyak berdialog, berbagi, dan
mendengarkan dan tidak egois.
“Tuntutlah ilmu sampai ke negeri Cina, ” itulah
salah satu petuah Rasulullah. Kini kita jauh lebih mengerti mengapa Nabi
Muhammad memilih Cina. Selain karena keeksotisan budaya, kehebatan angkatan
militernya, dan ilmunya, mugnkin jauh-jauh hari Rasulullah sudah memperkirakan
bahwa akan hadir seorang hebat dari Negeri Tirai Bambu yang akan menjadi
tauladan di dunia timur dan membawa nilai-nilai pluralisme, termasuk Indonesia.
Dialah Jenderal Besar Cheng Ho. Maka, mari menuntut ilmu kemasyarakatan pada
Jendral Cheng Ho.
Kesimpulan
Kemunculan ritual-ritual keagamaan yang berbeda di
Klenteng Sam Po Kong terinspirasi oleh sikap Laksamana Cheng Ho yang menghargai
keberagaman agama dan kepercayaan. Berdasarkan observasi lapangan yang
dilakukan oleh penulis di Klenteng Sam Po Kong Semarang, terdapat sinkretisme
agama Islam, Budha, dan Tao dengan abangan. Kerangka teori yang digunakan dalam
makalah ini teori tentang “agama” yang dicetuskan oleh Geertz dan
Durkheim. Terakhir, penulis menyarankan
agar kaum Muslim di Indonesia mengedepankan perdamaian dan toleransi jika
berhubungan dengan penganut agama lain karena memang hal inilah yang diperintahkan
dalam Al-Quran.
Daftar Pustaka :
Azra,
Ayzumardi, “Pluralisme Islam dalam Perspektif Historis”, dalam Sururin (ed.), Nilai-nilai Pluralisme dalam Islam :
Bingkai Gagasan yang Berserak, Bandung : Penerbit Nuansa, 2005.
Buckley,
Nora C.. “The extraordinary voyages of
Admiral Cheng Ho.” History today 71 : 462-467 (1975).
Geertz,
Clifford, The
Religion of Java, London: The
University of Chicago Press, 1960.
-------------------
The Interpretation of Cultures, New York: Basic
Books, 1973.
Mulyana,
Slamet, Runtuhnya Kerajaan Hindu-Jawa dan Timbulnya Negara-negara Islam di
Nusantara, Yogyakarta: LKiS Yogyakarta, 2005.
Daniel, Pals, Seven Theories of Religion, New York: Oxford University Press, 1996.
Syam,
Nur, Islam Pesisir, Yogyakarta :
LkiS, 2005.
Yuanzhi,
Kong. Muslim Tionghoa Cheng Ho : Misteri Perjalanan Muhibah di Nusantara, Jakarta: Pustaka Populer Obor, 2007.
Smith, Wilfred Cantwel, .................
Shihab, Alwi, “Nilai-nilai Pluralisme dalam Islam,
Sebuah Pengantar,″ dalam Sururin (ed.), Nilai-nilai
Pluralisme dalam Islam : Bingkai Gagasan yang Berserak, Bandung :
Penerbit Nuansa, 2005.
Prihantoro, Fahmi,
“Klenteng, Agama, dan Identitas Budaya Masyarakat Cina : Studi Kasus Pada
Klenteng Tay Kak Sie, Semarang,” tesis tidak terbit, UGM, 2006.
Hanif, Muh, “Dakwah Islam Kultural: Studi Atas Apresiasi
Kyai Masrur Ahmad MZ (lahir 1963) terhadap Seni Jathilan di Kelurahan
Wukirsari, Cangkringan, Sleman, Yogyakarta,” tesis tidak terbit, UGM, 2006.
Salehuddin, Ahmad, “Masjid yang terbelah di Gunungsari:
Tarik-Menarik Antara Aliran Islam dalam Masyarakat Jawa,” tesis tidak terbit,
UGM, 2006.
[1]Saya mendefinisikan “sinkretisme” sebagaimana yang
diartikan oleh Muhammad Hanif, yaitu sebuah pola budaya baru yang terjadi dari
proses menggabungkan, mengkombinasikan unsure-unsur asli dengan unsure-unsur
asing. Proses penggabungan ini disebut dengan “sinkretisasi”. Hanif menambahkan
bahwa oleh sebagian ahli antropologi, sinkretisme dianggap sebagai salah tiga
hasil akulturasi, yakni (1) penerimaan, (2) penyesuaian, (3) reaksi. Lihat
Muhammad Hanif, “Dakwah Islam Kultural : Studi atas Apresiasi Kiai Masrur Ahmad
MZ (lahir 1963) terhadap Seni Jathilan di Kelurahan Wukirsari, Cangkringan,
Sleman, Yogyakarta”, 2006, Universitas Gadjah Mada, tesis tidak terbit.
[2]Wilfred Cantwell Smith, the Meaning and the End of Religion,
..........................................
[3]Lihat Kwame Anthony
Appiah, “Causes of Quarrel : What’s Special about Religious Dispute?,” dalam
Thomas Banchoff (ed.), Religious
Pluralism, Globalization, and World Politics (New York: Oxford University
Press, 2009), h. 46-47. Appiah berpendapat bahwa agama memiliki tiga fungsi
dalam masyarakat modern, yaitu sebagai identitas sosial, sistem integratif dari
simbol-simbol, dan standar epistemologi sosial. Identitas sosial inilah yang
nantinya menjadi ciri utama dari tiga kelompok agama yang berbeda di tiga kuil
utama di Klenteng Sam Po Kong.
[4]Ayzumardi Azra,
“Pluralisme Islam dalam Perspektif Historis,” dalam Sururin (ed.), Nilai-nilai Pluralisme dalam Islam :
Bingkai Gagasan yang Berserak (Bandung: Penerbit Nuansa, 2005), h.
150
[5]Ayzumardi Azra, Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan
Nusantara Abad XVII, h. 35, seperti yang dikutip oleh Salehuddin. Lihat
Ahmad Salehuddin, “Masjid yang terbelah di Gunungsari: Tarik-menarik antar
Aliran Islam dalam Masyarakat Jawa”, 2006, Universitas Gadjah Mada, tesis tidak
terbit, h. 4.
[6]Istilah abangan ini, walaupun sudah ada sejak
lama, awalnya dipopulerkan oleh antropolog Clifford Geertz dalam opus magnusnya yang berjudul Religion of Java (1960, hal.
126-130) yang membagi penganut Islam di
Yogyakarta menjadi tiga bagian, yaitu abangan, priyayi, dan santri. Jika
pengikut abangan dan priyayi memadukan antara filsafat Jawa, animism, dan
Islam, para santri memilih untuk berpegang teguh pada “ajaran Islam dari
sumbernya” serta menjalankan perintah Quran secara ketat.
[7]Nora C. Buckley, “The
Extraordinary Voyages of Admiral Cheng Ho,” History today Vol. 71 (1975), h. 462
[8]Kong Yuanzhi, Muslim
Tionghoa Cheng Ho:; Misteri Perjalanan Muhibah di Nusantara (Jakarta :
Pustaka Populer Obor, 2000), h. 33
[13]Ibid.,
Kong Yuanzhi, Muslim Tionghoa Cheng Ho,
h. 40. Bahkan, berdasarkan catatan Buckley (h. 464), Cheng Ho juga ikut
memberikan penghormatan kepada Tien Fei, Dewi Laut, yang merupakan salah satu dewi dalam agama
Budha yang dipercaya dapat menyelamatkan
orang yang tenggelam di lautan lepas.
[16]Semua informasi ini
dikutip dari pahatan-pahatan batu yang ada di Klenteng Sam Po Kong di Semarang.
Referensi dari informasi ini
bersumber dari The Documentary R.ecords of the Ming Dynasty, bab 71: The History of Far East, dan The History of Lou Dong Liu Jia Gan Tian Fei Palace. Masih menurut informasi di batu pahatan tersebut, pada tahun 1415,
Cheng Ho dan pasukannya tiba di Aceh (Sumendala). Ketika itu, Raja Aceh dibunuh
oleh Raja Nakur dari Batak. Berhubung Raja Zainal Abidin terlalu belia untuk
membalaskan dendam kematian ayahnya, Ratu Aceh membuat sayembara bahwa siapa
saja yang dapat membunuh Raja Nakur dapat menikahi Sang Ratu dan menjadi raja
selanjutnya. Sayembara ini dimenangkan oleh seorang nelayan yang akhirnya dapat
membunuh Raja Nakur dan akhirnya memimpin Aceh bersama dengan Sang Ratu. Sewaktu Zainal Abidin beranjak dewasa, ia
merencanakan kudeta terhadap ayah tirinya. Iskandar, saudara tirinya, tidak
terima akan hal ini dan kemudian mendeklarasikan pemberontakan. Akhirnya, Cheng Ho berhasil mengakhiri perang
saudara ini.
[19]Informasi ini didasarkan pada keterangan yang ada
di pahatan batu di Klenteng Sam Po Kong Semarang.
[21]Kwa Tong Hay Setiawan, Mengenal Klenteng Sam Po Kong, Gedung
Batu, Semarang, (Semarang : Yayasan Klenteng Sam Po Kong, 1982), h. 12-13,
sebagaimana dikutip oleh Fahmi Prihantoro, “Klenteng, Agama, dan Identitas
Budaya Masyarakat Cina : Studi Kasus pada Klenteng Tay Kak Sie, Semarang”,
tesis, 2006, Universitas Gadjah Mada, tidak terbit.
[22]Hal ini adalah contoh
lain dari harmonis dan tolerannya kaum Muslim di Semarang terhadap komunitas
lain yang non-Muslim. Jin Bun merupakan putra dari
seorang Putri Cina yang tidak diketahui namanya. Ia adalah istri keempat dari
Raja Brawijaya. Menurut babad Tanah Jawi,
Putri Champa, istri ketiga Sang Raja,
merasa cemburu kepada Putri Cina tersebut. Karena itulah, Raja Brawijaya
akhirnya menghadiahkan Putri Cina yang tengah mengandung kepada Arya Damar. Jadi, Arya Damar adalah ayah tiri Jin Bun. Ia
memiliki seorang saudara tiri bernama Kin San. Ketika mereka dewasa, keduanya
belajar tentang agama Islam dari Sunan Ampel. Di kemudian hari, Jin Bun yang
bergelar Raden Patah berkuasa di Demak, yang merupakan daerah sekaligus
kerajaan Islam pertama di Pulau Jawa,
yang ketiga di Nusantara, dan yang keempat di Asia Tenggara. Semarang
kala itu berfungsi sebagai kota pelabuhan. Untuk informasi lebih lanjut lihat Prof Dr Slamet Mulyana, Runtuhnya Kerajaan Hindu-Jawa dan
Timbulnya Negara-negara Islam di Nusantara, (Yogyakarta: LKiS
Yogyakarta, 2005), h. 90-97; 193-194.
[24]Informasi ini didapatkan dari wawancara dengan guide di Klenteng Sam Po Kong dan
observasi langsung penulis di klenteng tersebut.
[26] Daniel Pals, Seven Theories of Religion, (New York: Oxford
University Press, 1996), h. 113-114.
[34]Sudiyono, sang juru kunci kuil kedua menjelaskan
kepada penulis bahwa ada tiga “pasangan” lilin besar, yang bermakna filosofis
bahwa segala sesuatu di alam ini harus berpasangan dengan sesuatu yang sifatnya
berkebalikan untuk menjaga harmonisasi
semesta, contohnya pria dan wanita, siang dan malam, kejahatan dan kebaikan,
dll.
[37]Clifford Geertz, The Religion of Java, (London: The
University of Chicago Press, 1960),
h. 26. Dalam bukunya yang emrupakan penelitian antropologis ini, Geertz
beranggapan bahwa danjang adalah
arwah penjaga yang melindungi dan membantu warga desa. Serupa dengan danjang, Dewa Bumi bertugas untuk
melindungi orang yang tinggal di sekitar kuil tersebut dari kejahatan dan nasib
buruk.
[39]Alwi Shihab, “Nilai-nilai Pluralisme dalam Islam,
Sebuah Pengantar,″ dalam Sururin (ed.), Nilai-nilai
Pluralisme dalam Islam : Bingkai Gagasan yang Berserak, (Bandung :
Penerbit Nuansa, 2005), h. 20.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar