SARIDIN
DALAM PENGUMULAN ISLAM DAN TRADISI:
Relevansi
Islamisme Saridin Bagi Pendidikan Karakter Masyarakat Pesisir
Nur
Said *
ABSTRACT
“Di zamannya, orang desa
sekitar pun tak ada yang tahu persis siapa Saridin. Orang tahunya Saridin ya
Saridin, orang desa yang juga tak tersentuh pendidikan, dan namanya bahkan
tercoreng tindak “kejahatan” yang pernah dilakukannya. Ia diuber-uber prajurit
Kadipaten Pati, dan entah bagaimana, ia lenyap begitu saja. Orang pun lupa
kisah Saridin. Puluhan tahun kemudian muncul "pesantren" baru yang
mengguncangkan kemapanan pesantren-pesantren lain yang sudah dirintis lama
sebelumnya. Para santri dari pesantren-pesantren lain pindah ke pesantren baru
tersebut. Para tokoh dunia Islam, termasuk Sunan Kudus, risau. Mereka kemudian
mendengar, pesantren baru itu diasuh oleh Syech Jangkung. "Syech Jangkung?
Siapa dia? Dan dari mana?" Banyak pihak gugup menghadapi kenyataan itu.
Maka, Sunan Kudus mengutus seorang mantan santri kepercayaannya, yang sudah
memangku jabatan Ketib, untuk menelusuri jejak Syech Jangkung. Sang Ketib
menemukan, tokoh yang mengaku Syech Jangkung itu tak lain ternyata cuma si
Saridin.” (Muhamad Sobary, KOMPAS, 29
Desember 2002).
Pendahuluan
1. Latar Belakang Masalah
Saridin adalah nama kecil dari Syekh Jangkung yang
sekarang makamnya terletak di Desa Landoh, Kecamatan Kayen sejauh lebih kurang
17 Km dari Kota Pati. Saridin menjadi representasi
dari tokoh rakyat yang berani memperjuangkan kebenaran bahkan melawan
ketidakadilan secara lugu tanpa kekerasan dalam berhadapan dengan siapapun
termasuk pihak penguasa Kadipaten Pati bahkan dengan Sunan Kudus pada masanya.
Kepopuleran Saridin dalam masyarakat bawah (grass root)
bukan saja karena berbagai keanehan sikap dan perilakunya di zaman kuwalen
(walisongo) terutama ketika bergumul dan berinteraksi dengan Sunan Kudus tetapi
dia juga meninggalkan berbagai ajaran yang masih melekat dalam masyarakat lokal
di Pati. Diantara ucapan Saridin adalah “Ojo
njupuk nek ora dikongkon, ojo njaluk nek ora dowek’i” (Jangan mengambil
sesuatu, kalau tidak mendapatkan ijin yang memiliki, jangan meminta kalau bukan
miliknya).1 Sebuah
ajaran yang mengedepankan keikhlasan, kejujuran dan kemandirian.
Yang tak kalah menarik laku-lampah (perilaku)
Saridin yang kocak dan penuh digdaya sudah banyak direproduksi dalam berbagai
cerita dalam Ketoprak,2 sebuah seni pertunjukan yang populer di
Pati. Bahkan lakon Saridin dalam Ketoprak tersebut tak sedikit yang sudah masuk
dapur rekaman, sehingga masyarakat umum sudah bebas menikmasti seni Ketoprak
berikut cerita Saridin dengan berbagai tafsir yang bermacam-macam.
Cerita dan legenda Saridin tak sekedar sebagai hiburan
tetapi telah menjadi semacam ideologi
pencitraan yang berkembang liar di masyarakat sehingga ketika berkontestasi
dalam suatu medan pertarungan tanda (sign) budaya, hal ini turut
mengkonstruksi sistem keyakinan dan sistem nilai dalam masyarakat dan sekaligus
menjadi sumber penggerak dalam berpikir dan bertindak.
Sumber
penggerak tindakan dan pemikiran seperti ini oleh Bourdieu disebut sebagai habitus;
yaitu kerangka penafsiran untuk memahami dan menilai realitas sekaligus
sebagai penghasil praktek-praktek kehidupan dalam suatu dialektika dua gerak
timbal balik; pertama, struktur obyektif yang dibatinkan; kedua,
gerak subyektif yang menyingkap hasil pembatinan.3 Dalam
keberagamaan hal ini termanifestasikan dalam berbagai bentuk ‘Agama Rakyat’,
terutama pada Islam yang ‘membumi’ yang
terkonstruksi sebagai bentuk dialektika antara Islam dan tradisi lokal.
Maka ketika Saridin ada “perselisihan” dengan Sunan Kudus
dalam sebuah cerita sebagaimana dalam kutipan pembuka bagian ini, sebagian ada
yang menilai hal itu sebagai bentuk perbedaan pandangan antara Islam Sufistik-populis
yang merakyat sebagai representasi Saridin dengan Islam Sufistik-Politis dengan
Sunan Kudus sebagai figurnya.4
Demikian juga berbagai bentuk ungkapan Saridin seperti; aja
drengki srei, tukar padu, dahpen kemeren, aja kutil jumput, bedhog-colong
(Jangan saling benci, jangan suka bertengkar, jangan iri. Jangan suka mengambil
milik orang lain tanpa seizin pemiliknya) yang sering terilustrasi dalam lakon
Ketoprak Syekh Jangkung juga merupakan bagian dari tradisi lisan yang amat
populer di kalangan orang Komunitas Sedulur Sikep Bombongan, Baturejo, Sukolilo, Pati.5 Kini
Komunitas Sedulur Sikep di
Bombongan tersebut merupakan sebuah komunitas adat yang memiliki sistem
keyakinan dan budaya yang kuat bahkan memiliki mekanisme perlawanan terhadap
hegemoni penguasa dengan tanpa kekerasan.6 Apa yang yang diyakini
oleh Komunitas Sedulur Sikep adalah bagian dari ‘agama rakyat’ yang
lahir dan berkembang secara natural pada masyarakat bawah, bukan sebagai agama
yang dikonstruksi oleh hegemoni penguasa.
Karena itu, eksistensi Saridin dengan segala pencitraan
yang ada, telah turut mengkonstruksi kesadaran masyarakat bahkan pada kelompok
tertentu turut mengkonstitusi pola keyakinan dan sistem nilai sehingga terwujud
dalam “Agama Rakyat”7 yang
dalam Islam memberikan identitas keislaman yang khas, sementara dalam bentuk
agama lokal muncul Sedulur Sikep di Sukolilo Pati.
Berdasarkan pemikiran tersebut menjadi menarik mengurai
penelitian yang lebih mengakar tentang eksistensi Saridin dalam bergumul dengan
Islam dan tradisi sebagai ikhtiar mengaktualkan nilai-nilai budaya lokal
terutama yang dipegangi oleh Saridin dengan segala kontroversinya. Tak hanya
berhenti pada tahap penggalian nilai-nilai, tetapi mencoba memetakan sejauhmana
relefansinya bagi pendidikan karakter dalam masyarakat pesisir dalam konteks
kekinian.
2. Rumusan Masalah
Dengan mendasarkan pada latar dasar pemikiran di atas,
maka rumusan masalah kajian ini adalah sebagai berikut: (1) Mengapa figur
Saridin begitu melegenda dalam masyarakat pesisir Jawa?; (2) Bagaimana citra
Saridin diillustrasikan dalam tradisi
lisan dan tradisi tulis dan bagaimana hal tersebut direproduksi oleh berbagai
elemen masyararakat di pesisir Jawa?; (3) Bagaimana citra Saridin dalam
bergumul dengan Islam dan tradisi dan bagaimana hal tersebut mengkonstruksi
‘Agama Rakyat’ di pesisir Jawa?; (4) Apa relefansi ajaran Saridin bagi
pendidikan karakter masyarakat pesisir dalam konteks sekarang?
3. Metodologi Penulisan
Paper ini ditulis berdasarkan hasil riset intensif yang
sarat dengan pengungkapan makna simbolik dan membaca hubungan antar sistem
tanda (signs) budaya dalam bingkai menangkap suatu konstruksi fenomena
‘Agama Rakyat’, maka dalam prosesnya akan mengedepankan 3 (tiga) pendekatan
sekaligus; Pertama, pendekatan semiotik sebagai salah satu pendekatan
sosiologi modern; yang berasumsi bahwa culture
as a semiotic phenomenon...the laws of signification are the laws of culture. For this reason culture allows a continuous process of communicative
exchanges.8 Hal ini menunjukkan bahwa
setiap entitas budaya dapat menjadi fenomena tanda, sehingga hukum hubungan
antar tanda juga berlaku dalam mencermati pranata budaya. Kedua, pendekatan sejarah lisan (oral
history); strategi penggalian mutiara kultur leluhur yang hampir terlupakan
oleh banyak orang. Tradisi tersebut tetap ada lestari, hidup dan berkembang
tanpa paksaan yang setiap muatan gagasan tersebut diekpresikan secara turun
temurun melalui lisan (tutur tinular). Menurut Tol dan Pudentia
sebagaimana dikutip oleh Suwardi Endraswara, tradisi lesan tidak hanya berisi folklor,
legenda dan mitos, tetapi juga terdapat sistem pengetahuan masyarakat adat,
praktek hukum, pengobatan tradisional dan lainnya.9 Pendekatan sejarah
lisan ini terutama dalam melacak fenomena legenda Saridin di Pati serta
pencitraannya hingga sekarang. Ketiga, pendekatan interpretatif, yang
memperlakukan kebudayaan sebagai sistem pemaknaan. Anggapan dasar pendekatan
ini, kebudayaan dianggap sistem simbol dan sekaligus sebagai jejaring makna,
sehingga pola-pola
makna
terejawantahkan melalui simbol-simbol.10 Dengan melanjutkan analogi
itu, maka fenomena kebudayaan juga merupakan fenomena tanda yang bermakna yang
dapat didekati melalui dua sisi; sebagai sistem tanda (system of signs)
dan sekaligus sebagai praktik-praktik penandaan (signifying practices) .11
Maka berbagai peninggalan Saridin yang ada tak sekedar dimaknai secara
denotatif, tetapi justru menangkap makna dibalik yang lahir (konotif)
Kajian ini dilakukan berdasarkan riset dalam masyarakat pesisisr Jawa
terutama di Kabupaten Pati dimana Saridin dimakamkan. Dalam pengumpulan data peneliti menggunakan
metode pengamatan terlibat (participant observation), wawancara mendalam
(indepth interviews) dan studi dokumentasi. Ketiga metode tersebut dioperasionalisasikan
menurut sifat data yang ingin diperoleh. Untuk mendapatkan data yang bersifat
kongrit peneliti menggunakan pengamatan terlibat seperti berbagai peninggalan
benda cagar budaya komplek makam Saridin di Landoh, Kayen. Sementara data yang bersifat abstrak seperti
nilai, makna simbol, pandangan hidup, cerita rakyat dan legenda, sejarah lisan
dalam penggaliannya menggunakan metode wawancara mendalam terutama untuk
menangkap sejarah lisan di masyarakat Pati. Data yang diperoleh melalui
observasi dan wawancara tersebut kemudian diperkaya dengan data dari dokumentas
baik berupa buku, majalah, berita koran, foto/gambar, internet, rekaman kaset
dan film dokumenter.
Setelah data terkumpul selanjutnya dilakukan pengolahan data secara
kualitatif melalui tahapan seleksi, klasifikasi, dan kategorisasi berdasarkan
kelompok masalah, kemudian dilakukan analisa semiotik dengan mencari hubungan antar sistem tanda dalam
legenda Saridin dengan fenomena budaya lokal terutama terkait dengan geneologi ‘Agama Rakyat’ di Pati. Sistem tanda dapat menghasilkan makna karena adanya
prinsip perbedaan (difference) atau sistem hubungan tanda-tanda. Karena
itu dalam analisa semiotik, sistem hubungan ini mendapatkan tempat yang amat
penting. Tugas analisa semiotik adalah merekonstruksi sistem hubungan yang
secara kasat mata tidak tampak,12 baik hubungan simbolik,
paradigmatik maupun sintagmatik. Analisa ini diperlukan untuk membantu
menangkap habitus masyarakat agama di Pati sehingga konstruksi budaya
masyarakat Pati dalam beragama dan bertindak –setidaknya dengan bantuan teori
praktiknya Pierre Bourdieu- akan bisa terformulasikan dan terbaca secara jelas
dan bisa dipertanggungjawabkan secara ilmiah.
Pembahasan
1. Geneologi dan Kiprah Saridin dalam
Masyarakat Pesisir
Saridin meskipun telah melegenda dalam masyarakat pesisir
utara terutama di Pati dan sekitarnya, namun keberadaanya dan kesejatiannya
dirinya masih merupakan misteri. Sosok Saridin sejak zaman Walisongo telah
membuat heboh para santri di pondokan Kanjeng Sunan Kudus karena kenylenehan
dan “kesaktiannya” yang membuat orang-orang di sekitarnya heran kepalang.
Saridin terlahir bukanlah sebagai pribadi yang sempurna,
tapi justru sarat dengan problematika. Kendatipun demikian Saridin tidak pernah
putus asa. Ternyata dengan berguru antara lain melalui asuhan Kanjeng Sunan
Kalijaga Saridin berkembang cukup mengagumkan berkat pengabdiannya yang tinggi
kepada guru-gurunya.
Saridin juga tidak merasa hina ketika dinilai sebagai
pribadi yang tak pernah tersentuh wudlu, tak pernah sholat dan sebagainya. Bagi
Saridin penilaiaan orang itu tidak berarti apa-apa, bahkan Saridin tetap saja
melakukan hal terbaik bagi kehidupan. Tampaknya Saridin justru sadar pujian
seringkali malah menjerumuskan, maka Saridin tak haus pujian. Namun lebih suka
pada aksi nyata.
Maka ketika Saridin berniat mendirikan pesantren, banyak
orang termasuk santri kepercayaan Sunan Kudus, Ketib, juga menilai atas dasar
apa Saridin yang “ndeso nglutuuk” berani memproklamirkan diri mendirikan
pesantren. Namun tetap saja Saridin jalan terus, ibarat anjing menggongong
kafilah tetap berlalu. Saridin tampaknya berprinsip bahwa mendirikan
pesantren adalah hak setiap manusia, bukan monopoli kyai atau kelompok
tertentu. Siapapun yang peduli atas masa depan kemanusiaan maka institusi
pesantren adalah salah satu medianya, maka tidak perlu orang secara subyektif
menghakiminya.
Apa yang dilakukan Saridin seperti itu telah merobohkan
kemapananan yang selama ini pesantren dimonopoli oleh orang-orang yang diklaim
sebagai kyai. Kalau pesantren dalam hal ini diposisikan sebagai penanda budaya
pendidikan yang beradab, maka mestinya pendidikan itu tak harus di sekolah
tetapi siapapun bisa menyelenggarakan pendidikan yang yang murah dan
berkualitas sebagaimana pesantren ala Saridin.
Meskipun jejak langkah Saridin masih merupakan misteri,
namun setidaknya menurut juru kunci makam Saridin, RH. Damhari Panoto Jiwo,
menjelaskan bahwa Saridin adalah putra dari Syekh Abdul Hasyim dari Timur
Tengah yang sedang mengembara di Jawa. Kalau kemudian Saridin juga dikenl
sebagai Syekh Jangkung tak lepas dari kepribadiannya yang dikenal sebagai
pribadi yang kinasih oleh Sang Pencipta dan jangkung (dikabulkan)
segala permintaannya, maka dalam bahasa Jawa disebut Sih (kinasih) Jangkung
(dikabulkan).
Saridin dilahirkan di Landoh, Kiringan, Tayu, Pati.
Dinamakan Saridin (dari dua kata “sari” berarti inti/esensi dan kata “din”
berarti agama), sehingga Saridin dimaksudkan sebagai sarinya agama (esensi
agama). Maka semangat belajar/berguru
Saridin juga sangat tinggi, melalang “meguru” berbagai Wali dan ahli ilmu.
Diantara guru-guru Saridin adalah Sunan Bonang, Sunan Kalijaga, Sunan Muria
juga kepada Sunan Kudus.
Karena itu atas keilmuannya itu, maka Saridin dikinasih
oleh Yang Maha Kuasa dan dijangkung (dikabulkan) segala ucapannya oleh
Sang Pencipta. Ini antara lain alasan mengapa Sadin dijuluki Sih Jangkung.
Namun setelah berguru dari Ngerum (Romawi/sekarang Turki), Saridn benar-benar mendapat predikat
Syekh Jangkung dalam arti sesungguhnya karena disamping memang keturunan Syekh,
juga keilmuannya juga “tabahur” (luas) sebagaimana panggilan Syekh di
Timur Tengah adalah yang ahli ilmu.
Karena berbagai keistimewaan dan kelebihannya, maka
Saridin ini tak hanya terkenal di pesisir Jawa Demak, Kudus, Pati, Rembang
tetapi juga sampai di Cirebon, Betawi dan juga Palembang. Sedangkan di Kerajaan
Mataram, Saridin diambil ipar oleh Sultan Agung, karena kakaknya Sultan Agung
yang bernama Den Ayu Retno Jino dipersunting oleh Saridin yang makamnya
bersebelahan dengan Saridin di Kayen, Pati.
Sebelumnya Saridin telah menikah dengan istri pertamanya
bernama bernama Sarini yang berputra Momok namun akhirnya meninggal ketika
masih perjaka. Lalu menikah lagi dengan putri dari Cirebon yang bernama Pandan
Arum memiliki putra satu bernama Raden Tirto Kusuma akhirnya menurunkan
generasi hingga sekarang termasuk juru kunci makam Saridin sekarang yakni RH.
Damhari Panoto Jiwo sebagai keturunan yang ke-11.
Diantara peninggalan (petilasan) Saridin yang masih
sampai sekarang adalah Sumber berupa sumur kampung Ndonga. Diantara
keistimewaannya sumur tersebut, konon suatu saat Saridin minta minum seseorang
di kampung tersebut, tidak dikasih karena air sedang jarang (musim kering),
lalu ia menusukkan encis (sebangsa gaman) ke tanah, lalu akhirnya
keluarlah sumber air yang mengalir dengan derasnya dan bertahan hingga
sekarang.
Kasus mata air juga pernah terjadi di Mataram Kota Gede.
Suatu ketika prajurit Mataram sedang kehausan, namun sedang tidak ada air di
sekelilignya. Maka Saridin akhirnya mendorong mata air dari bawah, sementara
Sultan Agung menariknya dari atas. Maka atas upaya itu mengalir mata air dari
bawah ke atas, sebagai salah satu kejadian yang langka di Imogiri.13
Fenomena Saridin telah mengakar dalam cerita rakyat di
daerah sekitar pesisir utara terutama Pati. Begitu mendengar Saridin maka orang
akan selalu ingat cerita seorang tokoh kontroversial di zaman kuwalen
(Walisongo). Pada era Walisongo,
di suatu daerah pesisir utara pulau
Jawa, tepatnya di daerah Pati, tersebutlah seorang pemuda desa yang lugu dan
bersahaja, bernama Saridin. Nama Saridin mungkin tidak begitu tenar secara nasional,
tapi sudah melegenda secara regional. Region itu adalah wilayah Demak Kudus
Pati Juwono Rembang, atau yang sering dilafadzkan dalam akronim “Anak Wedus
Mati Ketiban Pedang.”
Saridin seorang sakti, namun lugunya tidak ketulungan,
sehingga (seakan) tidak menyadari kesaktiannya. Dia pernah membunuh kakak
iparnya, karena sang kakak sering mencuri durian miliknya. Saat itu kakaknya
menyamar menggunakan pakaian harimau, sehingga Saridin tidak mengenali. Dengan
sekali tombak, matilah sang ipar.
Saat ditanya oleh petugas, Saridin mengaku tidak membunuh
kakaknya, melainkan membunuh harimau yang mencuri duriannya. Meskipun jika
pakaian harimau dibuka, Saridin mengetahui bahwa itu kakak iparnya. Kalo secara
hukum, Saridin tidak bersalah, karena membela miliknya, dan tidak menyadari
kalau harimau itu adalah kakaknya.
Namun demikian, Saridin tetap harus dipenjara. Untuk
memasukkan ke penjara bukan hal mudah, karena Saridin ngotot tidak bersalah.
Akhirnya Adipati Jayakusuma, pemimpin pengadilan, menggunakan kalimat lain,
bahwa Saridin tidak dipenjara, melainkan diberi hadiah sebuah rumah besar,
diberi banyak penjaga, makan disediakan, mandi diantarkan. Akhirnya Saridin
bersedia.
Sebelum dipenjara, Saridin bertanya apakah boleh pulang
kalau kangen anak dan istrinya. Petugas menjawab: "boleh, asal bisa".
Dan terbukti beberapa kali Saridin bisa pulang, keluar dari penjara di malam
hari dan kembali lagi esok harinya.
Karena Adipati jengkel, Saridin dikenai hukuman gantung.
Tapi saat digantung para petugas tidak mampu menarik talinya karena terlalu
berat. Saridin menawarkan ikut membantu, dijawab oleh Adipati: "boleh,
asal bisa". Dan karena ijin itu Saridin
lepas dari talinya, lalu ikut menarik tali gantungan.
Adipati semakin murka, dan menyuruh membunuh Saridin saat itu juga.
Sebuah tindakan putus asa seorang penguasa. Saridin melarikan diri sampai ke
Kudus, yang kemudian berguru pada Sunan Kudus. Di sini Saridin tidak berhenti
menunjukkan kesaktiannya, malah semakin menonjol.
Saat disuruh bersyahadat oleh Sunan Kudus, para santri
lain memandang remeh pada Saridin, apa mungkin Saridin bisa mengucapkannya
dengan benar. Tapi yang terjadi sungguh di luar dugaan semua orang. Saridin
justru lari, memanjat pohon kelapa yang sangat tinggi, dan tanpa ragu terjun
dari atasnya. Sampai di tanah, dia tidak apa-apa. Semua pada heran pada apa
yang terjadi.
Sunan Kudus menjelaskan, bahwa Saridin bukan cuma
mengucapkan syahadat, tapi seluruh dirinya bersyahadat, menyerahkan seluruh
keselamatan dirinya pada kekuasaan tertinggi. Kalau sekedar mengucapkan kalimat
syahadat, anak kecil juga bisa. Namun Saridin masih tetap dilecehkan oleh para
santri.
Maka ketika sedang ada kerja bakti antara lain kegiatan
mengisi bak air untuk wudlu, Saridin bukannya diberi ember, malah diberi
keranjang. Tapi dengan keranjang itu pula Saridin bisa mengisi penuh bak air.
Saat Saridin mengatakan bahwa semua air ada ikannya, tidak ada yang percaya.
Akhirnya dibuktikan, mulai dari comberan, air kendi sampai air kelapa, ketika
semua ditunjukkan di depan Saridin, semua ada ikannya.
Akhirnya Saridin diusir oleh Sunan Kudus, harus keluar
dari tanah Kudus. Saridin yang ternyata juga murid dari Sunan Kalijaga ini
bertemu lagi dengan gurunya. Saridin diperintahkan untuk bertapa di lautan,
dengan hanya dibekali 2 buah kelapa sebagai pelampung. Tidak boleh makan kalo
tidak ada makanan yang datang, dan tidak boleh minum kalau tidak ada air yang
turun.
Saridin dalam cerita rakyat juga mampu menghidupkan orang
mati (biidznillah) dengan bantuan gamping, lalu menyembuhkan putri Raja
Blambangan yang sedang terjangkit suatu penyakit yang membahayakan. Juga
mengenai kerbau milik Saridin, yang semula sudah mati, tapi karena Saridin
memberikan sebagian umurnya pada kerbau itu, sehingga kerbau tersebut hidup
kembali. Pada saat Saridin meninggal, kerbau tersebut ternyata juga mati. Lulang
(kulit) kerbau tersebut diyakini memiliki kekuatan magis. Barang siapa
membawanya, maka tidak akan mempan senjata. Sampai saat ini para kolektor benda
antik masih banyak yang memburu kulit ini, yang bernama Lulang Kebo Landoh.14
Pelajaran menarik dari sikap Sariden dalam cerita di atas
adalah kesedian Saridin untuk berbagi kehidupan dengan seekor kerbau yang telah
mati. Narasi Saridin yang bersedia menyambungkan nyawa kerbau atas nyawanya
adalah sebagai penanda adanya tingginya kesalehan Saridin kepada sesama makhluk
Allah, meski dengan binatang sekalipun. Hal ini juga sekaligus sebagai wujud
kepedulian Saridin atas lingkungannya yang mencerminkan memuliakan kepada alam
semesta agar keselerasan hidup bisa terjaga.
Ternyata kalau manusia saling mau berbagi kehidupan,
mereka justru tidak menjadi melemah, tetapi malah menjadi saling kuat liar
biasa. Narasi bahwa kebalnya kerbau dari sembelihan dengan pisau (berang) biasa
menunjukkan bahwa ketahanan jiwa dan raga akan saling menguatkan manakala
terjadi keseimbangan dan keserasian alam sebagaimana tercermin dalam relasi
kehidupa pada detik-detik terakhir antara Saridin dengan kerbau landoh.
Dengan demikian Saridin telah mencitrakan sebagai sosok
yang lugu dan murni. Saridin beragama dengan “telanjang”, tulus dan merakyak
(populis). Pada saat dunia keberagamaan
di negeri ini dipenuhi dengan topeng-topeng kehidupan baik dalam aspek sosial,
budaya maupun politik, maka apa yang dilakukan dan diekpresikan oleh Saridin
menjadi menarik karena Saridin telah mengajarkan cara beragama dengan lugu dan
murni. Maka tak berlebihan kalau Saridin adalah peletak keberagamaan yang lugu
yang terbuka (the idea of inclusive religious purity).
Dengan kata lain Saridin telah berhasil membongkar
kemapanan dan mengkonstruk identitas keberagamaan yang lugu dan murni, namun
tetap terbuka (inklusif) atas keberagamaan kelompok lain. Sehingga klaim-klaim
sebyektif atas keberagaamaan seseorang atau kelompok orang dianggap sebagai
sesuatu yang perlu dihindari dengan tetap melakukan proses obyektifikasi atas
Islam agar Islam benar- benar menjadi penebar rahmah bagi seluruh penghuni alam
semesta. Hal ini juga berarti dalam beragama tidak bisa dengan balutan
kepentingan politik sesaat, karena hal ini justru akan menciderai dan mereduksi
makna esensial agama sebagai way of life secara utuh.
2. Saridin dalam Konstruksi Budaya Lokal
Cerita dan legenda saridin telah mengakar dalam
masyarakat pesisir. Bahkan berbagai kisah dan ceritanya telah direproduksi dalam seni kethoprak,15 kesenian
khas dari Pati. Setidaknya dapat didengarkan dalam pemutaran kasetnya yang
dipancarkan lewat pengeras suara atau radio lokal. Misalnya lakon Saridin atau
Syeh Jangkung, terutama bagian Andum Waris. Lewat pita kaset rekaman Dahlia
Record, sekitar 20 tahun lalu, boleh dibilang lakon yang disajikan Ketoprak Sri
Kencono Pati ini paling digemari.
Tak jarang pula dipentaskan di panggung tanggapan.
Malahan pada akhir tahun 80-an, hampir tiada hari tanpa pemutaran lakon yang
terdiri atas beberapa seri, mulai dari Andum Waris, Pager Mangan Tanduran,
Ontran-ontran Cirebon, Ontran-ontran Mataram, Sultan Agung Tani, sampai Keris
Syeh Jangkung (Ondho Rante) ini. Tak mengherankan jika lakon ini menjadi
bagian dari ingatakan kolektif masyarakat Pati dan sekitarnya. Bahkan sekarang
beberapa lakon Saridin misalnya Saridin Andom Waris dan juga Lakon
Ondho Rante Syeh Jangkung begitu mudah ditemukan dalam bentuk Compact
Disc (CD), sehingga turut meramaikan pasar CD serial Kesenian tradisional
Kethoprak.
Selain itu fenomena Saridin juga telah tereprodukdi dalam
bentuk Suluk. Suluk biasanya berisi
tentang sejarah kerajaan, ajaran,
pesan leluhur, ajaran agama.16
Sebagaimana pada penjelasan sebelumnya, bahwa diantara alasan orang tuanya
menamakan “Saridin” adalah agar menjadi intinya agama atau “sarinya din
(agama)”.17 Kalau ada sebuah suluk yang diberi nama “Suluk Saridin
(Syekh Jangkung” tampaknya juga tak lepas dari hubungan paradigmatik dengan
mentalitas dan spiritualisme Saridin. “Suluk Saridin (Syekh Jangkung” yang
ditulis oleh Alang Alang Kumitir juga berisi ajaran-ajaran esensial Islam merupakan wujud
sarinya Islam.
Dmikian juga dengan karya sastra Cerita Bersambung
(Cerbung) “Saridin Mokong” yang ditulis oleh Sucipto Hadi Purnomo, dosen
Fakultas Bahasa dan Sastra Universitas Negeri Semarang (Unnes). Cerbung tersebut ditulis dalam bahasa Jawa
dialek khas Pati, sehingga menjadi berkarakter dan memiliki identitasnya
sendiri. Bahkan semangat penulisnya juga tak jauh dengan spirit Saridin yang
membongkar kemapanan bahasa Jawa yang selama ini dihegemone oleh Bahasa Jawa
Solo-Yogya.
Melalai Cerbung “Saridin Mokong” di Harian Suara Merdeka
selama 200 lebih edisi, merupakan ekpresi gugatan terhadap konsep pengiblatan
kebudayaan Jawa yang selama ini terlalu mengarah ke Solo-Yogya sebagai
representasi kemapanan, kian hari kian menemukan entitasnya.
3. Konsekwensi Syahadat
Saridin
Kalau kebanyakan orang dua kalimah syahadat itu dicapkan
dengan secara lisan dan diyakini dengan hati dan diamalkan tindakan. Statement
secara lisan adalah bagian penting dari sebuah persaksian syahadat pada
umumnya. Namun tidak demikian dengan Saridin.
Saridin lebih mengedepankan syahadat bilhal
(dengan perbuatan) daripada syahadat billisan (ucapan). Kesipan Saridin
yang diminta bersyahadat kemudian langsung naik kelapa pohon kelapa hingga
ujungnya, dan sesampai puncak kemudian dia menjatuhkan diri adalah penanda
kepasrahan total Saridin kepada Sang Pencipta dan sekaligus menunjukkan
penafian dirinya sebagai ada. Yang ada sesungguhnya adalah Allah Sang Pencipta,
maka bersyahadat harus berani menafikan segala yang ada termasuk dirinya
sehingga hanya menuju satu tutuan yaitu “menyatu” dengan Dzat Yang Maha Tinggi.18
Dan tampaknya keselamatan Saridin yang meski jatuh dari
pohon kelapa yang cukup tinggi yang menurut ukuran adat manusia akan mati,
tetapi tidak bagi Saridin menunjukkan bahwa Saridin memiliki kedekatan pribadi
dengan Sang Pencipta, sehingga dia mendapatkan keistimewaan. Maka tak
berlebihan kalau Saridin dijuluki sebagai pribadi yang kinasih (Sih-Syeh)
dan dijangkung (dikabulkan) segala ucapannya. Maka terkenal dengan Syekh
Jangkungnya.
Sementara berbagai bentuk “perselisihan” yang terjadi
antara perilaku Saridin sebagai bagian dari kelompok muslim yang lugu, namun
selaras antara ucapan dan perbuatan pada satu sisi dan Katib, santri
kepercayaan Kanjeng Sunan Kudus sebagai bagian dari kelompok yang memegang
teguh aturan secara ketat sebagimana kelompok penegak hukum di Pati menunjukkan
adanya dua tipe Islam yang berbeda sudut pandang.
Untuk membantu identifikasi, dua tipe Islam tersebut
adalah Islam sufistik-populis dan Islam sufistik-politis. Islam
sufistik-populis adalah Islam yang diejawantahkan oleh Saridin dengan keluguan
total melalui tindakan nyata dan riil tanpa melihat terlalu detail
kepentingan-kepentingan individu atau orang lain. Mereka pasrah total sebagai
wujud syahadat bilhal sebagaimana dilakukan oleh Saridin.
Sementara Islam sufistik-politis tampaknya lebih
dikedepankan oleh kelompok Katib dan para santri dari Kanjeng Sunan Kudus yang
cenderung mudah menilai kelompok lain secara subyektif sehingga pola-pola Islam
yang keluar dari pakem yang pada umumnya telah berjalan dianggap sebagai Islam
yang neko-neko, karenanya perlu singkirkan atau paling tidak diminta
pertanggungjawabannya agar tidak “menyesatkan” bagi umat Islam yang lain.
Apa yang dilakukan oleh Saridin memang sudah keluar dari
pakem dalam banyak hal mulai dari cara komunikasi Saridin yang lebih
mengandalkan gagasan-gagasan lugu dan murni (the idea of purity) sehingga
mengecohkan para khalayak, hingga cara bersyahadatnya yang justru mengundang
detak tanda tanya besar.
Namun yang menarik Saridin juga sadar bahwa setiap orang
memiliki jalan hidup yang berbeda terutama dalam berinteraksi dengan yang
transenden. Karena itu syahadat seseorang dalam “berislam” tampaknya bagi
Saridin tidak bisa dipukul rata sebagai wujud kepasrahannya. Masing-masing
orang memiliki pengalaman spiritual dan pengalaman keagamaan (religious
experineces) yang tak lepas dari pengaruh guru-gurunya.
Karena itu ketika sekarang kehidupan keberagamaan dan
perilaku spiritualitas sedang dihadapkan pada budaya hedonisme dan materialisme
yang cenderung mengedepankan keberagamaan yang artifisial karena cenderung
menonjolkan simbul-simbul ketimbang esensi-esensi, maka tipe atau model Islam
sufistik-populis sebagaimana dikembangkan oleh Saridin menjadi menarik
dihadirkan kembali untuk membersihkan pola-pola agama yang lebih menonjolkan
kepentingan (politis) meski dengan balutan kegiatan spiritual-sufistik yang
tampak tidak hanya dalam ranah kegiatan politik, tetapi juga dalam lingkup
sosial, budaya, maupun ekonomi.
Namun Islam sufitik-populis saja tampaknya jauga tidak
cukup karena pada akhirnya juga akan terjebak pada munculnya “orgasme
spiritual” yang hanya dinikmati oleh dirinya sendiri kurang memberikan semangat
transformasi sosial yang lebih luas. Karena itu
Islam sufitik-populis akan menjadi lebih memiliki eksistensi kekuatan
perubah ketika diintegrasikan dengan Islam sufistik-politis, karena tidak bisa
dipungkiri bahwa Islam sendiri adalah sarat dengan nilai. Karena itu beragama
sesungguh juga sarat dengan kepentingan baik dalam dimensi sosial maupun
transendental.
Karena itu menjadi muslim sufistik yang populis akan
menjadi pribadi muslim yang lebih obyektif dalam pengertian tidak terlalu
mengambil pusing adanya perbedaan warna Islam. Karena perbedaan dalam Islam
adalah akan menjadi rahmat. Sementara menjadi muslim sufistik-politis akan
mendorong keberagamaan seseorang juga harus memperhatikan kepentingan orang
lain sehingga keberagamaan yang dipilihnya juga turut memberi faedah kepada
orang lain (anfa’uhum linnas) meskipun seringkali masih terjebak pada
subyektivitas. Karena itu dua tipe Islam sufistik-populis dan Islam
sufistik-politis sesungguhnya tetap dibutuhkan dalam koneks untuk saling
melengkapi dan saling menyempurnakan. Dengan seperti itu maka Islam akan
semakin kuat memberi manfaat tidak hanya bagi dirinya, tetapi juga bagi tatanan
sosial untuk memperkuat sistem sosial yang lebih didasarkan pada Islam sebagai way
of life baik pada tataran idealitas maupun realitas.
Karena itu Saridin bukan sekedar sebuah nama orang,
tetapi mentalitas dan sistem keyakinannya telah menjadi semacam ideologi yang
menjadi panutan bagi orang-orang disekelilingnya. Saridinisme yang kelompok
yang menganut “ajaran-ajaran” Saridin tampaknya masih hadir dalam konteks
sekarang. Kenyataan ini setidaknya antara lain dapat dilihat dari terdapatnya komunitas Sedulur Sikep di daerah
Sukolilo Pati yang mengedepankan perilaku lugu dan hal-hal yang demunung (jelas asal-usulnya) tampaknya ide dasarnya
tak jauh beda dengan tipe Saridin dalam memahami dan menerjemahkan realitas.
Meskipun secara
jelas komunitas Sedulur Sikep lebih mengedepankan ketokohan Samin
Suryosentiko sebagai cikal-bakalnya. Namun nilai-nilai yang dikembangkan oleh
komunitas Sedulur Sikep seperti: Aja drengki srei, tukar padu, dahpen
kemeren. Aja kutil jumput, bedhog-colong (Jangan dengki, jangan suka
bertengkar, jangan iri. Jangan suka mengambil milik orang lain tanpa seizin
pemiliknya). Bahkan ajaran-ajaran etika sosial seperti itu tampaknya dalam
lakon kethoprak juga banyak diucapkan oleh Saridin.
Keislaman Saridin sudah tidak bisa diragukan lagi,
meskipun syahadat Saridin hingga sekarang menuai kontroversi. Apalagi Saridin
juga dikenal memiliki para guru-guru istimewa dari para Wali kenamaan di Jawa,
mulai dari Sunan Kalijaga, Sunan Bonang, Sunan Muria hingga kepada Sunan Kudus,
meskipun juga sarat dengan “konflik” dan ontran-ontran. Dengan demikian tidak
disangsikan lagi bahwa peran Saridin dalam mengenalkan Islam kepada khalayak
juga tidak bisa diabaikan begitu saja.
Karena itu mentalitas Saridin yang ikhas, sabar, taat kepada guru dan
orang tua, jujur dan iman pada Kuasa Allah adalah nilai-nilai positif yang
relefan dengan pendidikan karakter Islam dalam konteks kekinian.
4. Relefansi “Islamisme” Saridin untuk Pendidikan Karakter
Secara istilah, karakter sebagaimana dinyatakan oleh Lickona (1991,
51) bahwa, “Character so conceived has three interrelated parts: moral
knowing, moral feeling, and moral behavior . . . habits of the mind, habits of
the heart, and habits of action”.19 Dengan kata lain karakter akan terkait dengan mengerti
tentang kebaikan, mencintai kebaikan dan melakukan kebaikan. Mengerti kebaikan tidak melulu dalam arti
pengertian kognitif. Tetapi di dalamnya juga terkait dengan pengertian
praktis, pengertian yang terkait dengan tindakan.
Dalam terminologi Islam, istilah karakter lebih dikenal
dengan akhlak. Untuk sampai pada tingkat itu, struktur akhlak (karakter Islami)
harus bersendikan pada nilai-nilai pengetahuan ilahiah, bermuara dari
nilai-nilai kemanusiaan dan berlandaskan pada ilmu pengetahuan.20
Hal ini juga ditegaskan oleh Abdullah (2010) bahwa karakter perlu diawali
dengan Pengetahuan (teori). Pengetahuan (teori) tersebut bisa
bersumber dari pengetahuan agama, sosial, budaya. Kemudian dari pengetahuan itu
diharapkan dapat membentuk sikap atau akhlak yang mulia. Namun yang
paling penting dari rangkaian panjang ini adalah mengamalkan apa yang
diketahui itu. 21
Apa yang dilakukan Saridin dalam banyak kasus,
lebih-lebih yang tercermin dalam Syahadat Saridin, menunjukkan bahwa Saridin
justru mengedepankan unsur terpenting dari karakter yaitu langsung mengamalkan
apa yang diketahui itu (acting) dalam kehidupan nyata, tak terjebak pada
konsep teoritis yang njlimet. Apa yang dilakukan Saridin adalah wujud
syahadat total (kepasrahan total) atau dalam bahasa Jawa disebut Ngawulo ing
Gusti baik secara lahir maupun batin. Dengan kata lain ”Islamisme” Saridin
justru menunjukkan Islam yang lugu (murni) dan demunung (realistik).
Diantara nilai-nilai karakter yang bisa ditemukan dalam
”Islamisme” Saridin antara lain: (1) Ikhlas: kalau dalam Islam niat
ditempatkan sebagai entitas terpenting dalam setiap tindakan manusia sebagai
barometer penuatan keikhlasan. Maka Saridin mengajari ilmu ikhlas dengan sebuah
pernyataan sederhana sebagai berikut: Ojo jupuk nek ora dikongkon, ojo jaluk
nek ora diwe’i22 (jangan mengambil kalau tidak
diperintahkan, jangan meminta kalau tidak diberi). Hal ini menunjukkan
pentingnya sepi ing pamrih (ikhlas) dalam menjalankan kehidupan; (2) Sabar; meski banyak tuduhan yang menyesatkan dirinya
serta fitnah yang bertubi-tubi menimpa dirinya; (3) Jujur; Saridin selalu berkata jujur dalam segala
ucapan dan tindakannya, entah itu salah atau benar. Misalnya ketika Saridin
dipenjara,karena Adipati juga mengizinkan menjenguk keluarga kalau dia bisa23;
(4) Berbakti kepada orang tua dan gurunya;
baik dalam wujud larangan maupun perintah. Bahkan perintah yang
berat sekalipun, misalnya harus bertapa selama delapan tahun di tengah laut,
Saridin tetap mengikutinya demi mencari kemulyaan hidupnya;24 (5) Peduli
lingkungan; antara lain diekpresikan dengan kemauannya berbagi kehidupan
dengan kerbau yang kemudian dikenal dengan Kerbau Landoh. Demikian juga wujud
pertapanya di laut bersama dua kelapa sebagai pelampung, adalah penanda
pentingnya kehidupan bersama tetumbuhan, karenanya perlu menjaga keseimbangan
alam; (6) Iman Kuasa Allah; Meskipun Saridin terkesan slengekan,
namun dalam merspon segala kehidupan selalu disandarkan pada kesadaran
transendental akan adanya Kuasa Allah termasuk terkait rizki dalam wujud apapun
yang diterima olehnya.25
Nilai-nilai moral sebagaimana terurai di atas bagi
Saridin tak sekedar dipahami pada tataran teoritis (knowing), tetapi
justru sudah terinternalisasi menjadi karakter pribadi Saridin yang lugu
dan demunung. Karena itu “Islamisme Saridin” sesungguhny adalah being
Islam bukan sekedar having Islam (“Islam KTP”). Keberagamaan dalam
konteks seperti Saridin seperti itulah yang dirindukan oleh dunia pendidikan
karakter yang akhir-akhir ini sedang digalakkan oleh pemerintah.
Ketika seorang pakar pendidikan karakter, Kartadinata
menegaskan bahwa pengembangan karakter menuntut adanya kesadaran budaya (cultural
awareness) dan kecerdasan budaya (cultural intellegence), maka sudah
menjadi keniscayaan bagi masyarakat pesisir untuk memperhatikan warisan budaya
dari Saridin agar karakter muslim yang terbangun juga lebih kuat dan mengakar
pada tradisi. Dengan pespektif seperti inilah identitas karakter dan budaya
bangsa bisa tersemaikan kembali.
Kesimpulan
Dari beberapa uraian sebelumnya dapat dirumuskan beberapa kesimpulan sebagai hasil
temuan riset ini adalah sebagai berikut:
1. Cerita,
kisah, legenda dan sejarah Saridin dalam mesyarakat pesisir terutama di Pati
masih bertahan kuat di masyarakat bawah karena proses reproduksi budaya masih
terus berlangsung baik melalui seni, karya sastra maupun tradisi lokal.
2. Diantara media komunikasi dan
reproduksi budaya tersebut antara lain kesenian tradisional kethoprak, karya
sastra Suluk Saridin, Cerita Bersambung Saridin Mokong, dan tradisi Buka
Luwur setiap bulan Rajab.
3. Citra Saridin dalam bergumul
dengan Islam dan tradisi setidaknya dapat diidentifikasi menjadi dua; Pertama
dalam bergumul dengan tradisi, Saridin dikenal dengan keluguan dan semangat
keluar dari tatanan (status quo) melalui perlawanan dengan sikap “nggendeng”
yakni berlagak tidak tahu, untuk tahu sebagaimana terejawantahkan dalam sikap
dan perilaku komunitas Sedulur Sikep (sikepisme) di Sukolilo, Pati. Kedua,
Saridin dalam bergumul dalam Islam telah memunculkan semacam varian Islam
sufistik-populis, yakni warna Islam yang sederhana dengan perilaku dan kasunyatan,
tidak terlalu baku.
4. Relefansi ajaran dan karakter
Saridin dalam konteks kehidupan sosial keagamaan setidaknya tercermin dalam dua
hal: pertama, penekanan Saridin yang menekankan perilaku (acting)
daripada sekedar memahami (knowing) adalah sejalan dengan misi
pendidikan karakter yang menekankan habitus, yakni struktur kognitif
yang terinternalisasi dalam tindakan nyata (pembiasaan). Kedua, terdapat
nilai-nilai utama yang dipegang teguhn oleh Saridin yakni: (1) keikhlasan, (2)
kesabaran, (3) ketaatan kepada guru dan orang tua, (4) kejujuran, (5) peduli
lingkungan, dan (6) iman atas Kuasa Allah. Hal ini juga selaras dengan tuntutan
pendidikan karakter yang menekankan pentingnya kesadaran budaya (cultural
awareness) dan kecerdasan budaya (cultural intellegences)
sebagaimana dilakukan oleh Saridin.
Daftar
Pustaka
Abdullah, Irwan, Konstruksi dan Reproduksi
Kebudayaan, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2006)
Barthes, Roland, Mythologies, (Hill and
Wang, New York,1983).
___________,
Elements of Semiology, transleated from the Frenc by Annette
Lavers and Colin Smith, (New York: Hill and Wang)
Bourdieu, Pierre, Outline of a Theory of Practice, (Cambridge: University Press, 1972)
___________, Distintion: A Social Critique of
the Judgement of Taste, (Cambridge-MA.: Harvard University
Press, 1984)
Drewes, G.J.W., Perdebatan Walisongo Seputar
Ma’rifatullah, (Surabaya: Al Fikr, 2002).
Purwadi, Babad Tanah Jawa,Menelusuri Jejak
Konflik (Yogyakarta; Pustaka Alif,
2001)
Budiman, Hikmat (ed.), Hak Minoritas; Dilema
Multikulturalisme Indonesia, (Jakarta: TIFA & The Interseksi
Foundation, 2007)
Bizawie, Zaenul Milal, Perlawanan Kultural
Agama Rakyat; Pemikiran dan Paham Keagamaan Syekh Ahamad al-Mutamakkin dalam
Pergumulan Islam dan Tradisi (1645-1740), (Yogyakarta: SAMHA, 2002).
Eco,
Umberto, A Theory of Semiotics, (Bloomington: Indiana University
Press, 1979)
Endraswara, Suwardi, Tradisi Lisan Jawa;
Warisan Abadi Budaya Leluhur, (Yogyakarta: Narasi, 2005)
Geertz, Clifford, The Interpretation of Culture, (New York:
Basic Books, 1973)
Harker, Richard, Pengantar Paling
Komprehensif Kepada Pemikiran Pierre Bourdieu,
(Yogyakarta: Jalasutra, 2004)
Haryatmoko, “Menyingkap Kepalsuan Budaya
Penguasa”, dalam Basis No.11-12 ke-52, November-Desember 2003
Kayam, Umar, Pertunjukan Rakyat Tradisional Jawa dan Perubahannya,
(Yogyakarta: Galang Press, 2000).
Koentjoroningrat, Pengantar
Antropologi, (Bandung: Rineka Cipta, 1996)
Said, Nur,
“Stategi Saminisme dalam Membendung Bencana Alam; Perlawanan Sedulur Sikep
thp Rencana Pembangunan Pabrik Semen di Sukolilo, Pati”, dlm Konferensi
Hibah Penelituan Interpretasi & Respons atas Bencana Alam, Kajian
Integratif Ilmu, Agama, dan Budaya; Pascasarjana UGM Yogyakarta, 11 Maret
2010.
Stokes, Jane, How To Do Media and
Cultural Studies, (Yogyakarta: Bentang Budaya, 2006).
Internet/Surat
Kabar/Media Lainnya:
Alang Alang Kumitir, “Suluk Saridin (Syekh Jangkung)”, dalam
http://alangalangkumitir.wordpress.com/category/suluk-saridin-syekh-jangkung/(diakses
, 28 September 2009)
DVD 1 Andum Waris.
Serial Syeh Jangkung, Kesenian Tradisional Kethprak, Bangun Budoyo, DVD
Version.
Muflikhah, “Sosok Tokoh
Saridin Dalam Seni Kethoprak Terhadap Penanaman Budi Pekerti Siswa dan
Implikasinya Terhadap Pengajaran Bahasa Jawa”, Skripsi UNNES 2006.
Sobary, Mohamad, ”Kang
Saridin” dalam Asal-usul Harian
KOMPAS, 29 Desember 2002.
“Mengungkap Sosok Saridin
(1); Syeh Jangkung ketika Kecil Sangat Nakal” dalam HARIAN
SUARA MERDEKA, 28 April 2004.
“Pengertian Suluk”
dalam http://budayajawa.wordpress.com/2009/
01/06/pengertian-suluk/ (diakses tanggal 28 September 2009).
“Sarasehan
Saridin Mokong Menggugat Hegemoni Bahasa Jawa Solo-Yogya” dalam SUARA
MERDEKA, 04 Februari 2008
“Saridin” dalam http://www.mahesajenar.com/2007/02/
saridin.html (Online 15 September 2009).
Endnotes :
*Penulis adalah alumni S1
Fakultas Tarbiyah dan S2 IAIN (sekarang UIN) Sunan Kalijaga Yogyakarta
(1994-2004). Penulis juga tamat di S2 Studi agama dan lintas budaya UGM
Yogyakarta (2000-2003). Sekarang disamping sebagai dosen tetap STAIN Kudus,juga
sedang menyelesaikan studi S3 Program Pengembangan Kurikulum di Universitas
Pendidikan Indonesia (UPI) Bandung. Bisa dihubungi di email: nursaid@ymail.com.
[1]Wawancara dengan wawancara peneliti dengan juru kunci ke-11 makam
Syekh Jangkung, RH. Damhari Panoto Jiwo, pada September 2009.
2Kethoprak merupakan seni pertunjukan tradisi lisan populer di
Pati. Penamaan istilah Kethoprak tak lepas dari kata “prak”yaitu suara keprak
(kenthongan) kecil yang selalu ditabuh saat transisi antara satu cerita dengan
cerita lainnya. Lihat, Suwardi Endraswara, Tradisi Lesan Jawa, Warisan Abadi
Budaya Leluhir, (Yogyakarta: Narasi, 2005) h. 189. Pati termasuk daerah
yang banyak terdapat kelompok Seni Ketoprak bahkan pada masa kejayaannya sekitar tahun 80-an ada
sekitar 60an kelompok Seni Kethoprak. Sekarang yang masih aktif tinggal 40-an
kelompok Kethoprak. Sampai sekarang seni Kethoprak ini masih sering manggung
sebagai hiburan publik di Simpang Lima, Alun-alun Pati, sebulan sekali meski
hal ini masih dibeayai mandiri oleh para pegiat Seni di Pati. Wawancara peneliti dengan pegiat budaya asal
Pati, Munawir, pada 16 Juni 2008.
3Bourdieu mengembangkan apa yang disebut
dengan tindakan bermakna. Menurutnya tindakan manusia terkait dengan perilaku
orang lain dalam suatu struktur tertentu. Maka untuk memahami tindakan manusia
juga harus memperhatikan dimensi simbolis yang darinya bisa membantu dalam
memahami mekanisme dominasi-dominasi antara yang dikuasiai dan yang menguasai.
Richard Harker, Cheelen Mahar, Chris Wilkes (ed), Pengantar Paling
Komprehensif Kepada Pemikiran Pierre Bourdieu,
(Yogyakarta: Jalasutra, 2004) hal. 8-7. Bandingkan dengan Haryatmoko, “Menyingkap Kepalsuan Budaya
Penguasa”, dalam Basis No.11-12 ke-52, November-Desember 2003, h.8-9.
[1]Wawancara peneliti dengan KH. Hamdani,
pengasuh sebuah pesantren Kajen,
Pati pada 7 Juni 2008.
4Wawancara peneliti dengan Gunritno, pemuda Sedulur
Sikep, Baturejo, Sukolilo, Pati pada
15 Juni 2008. Bandingkan dengan, Hikmat Budiman (ed.), Hak Minoritas; Dilema
Multikulturalisme Indonesia, (Jakarta: TIFA & The Interseksi
Foundation, 2007) h. 73-106.
5Beberapa bulan terakhir ini Komunitas Sedulur
Sikep sedang melakukan perlawanan untuk
menolak upaya perusahaan Semen Nasional berencana membangun perusahaannya di
Sukolilo Pati, bahkan perusahaan tersebut telah membeli lahan-lahan rakyat yang
selama ini sebagai sumber penghidupan sebagai ladang dan sawah. Selengkapnya
baca, Nur Said, “Stategi Saminisme dalam Membendung Bencana Alam; Perlawanan
Sedulur Sikep terhadap Rencana Pembangunan Pabrik Semen di Sukolilo, Pati”,
disampaikan dalam Konferensi Hibah Penelituan Interpretasi dan Respons atas
Bencana Alam, Kajian Integratif Ilmu, Agama, dan Budaya; Sekolah
Pascasarjana Universitas Gajah Mada (UGM) Yogyakarta, 11 Maret 2010.
6Penggunaan istilah ‘Agama Rakyat” dalam
proposal penelitian ini, peneliti terinspirasi pada tulisan Zaenul Milal
Bizawie, ketika mencoba menjelaskan kontroversi ketokohan KH. Mutamakin yang
dalam versi naskah Serat Cibolek yang dianggap sebagai figur yang dianggap
pembangkang Syari’ah sehingga diadili dan diberi sangsi oleh penguasa saat itu.
Ternyata dalam isi Serat Cibolek pada tingkat tertentu tak lepas dari paham
agama sebagai produk hegemone penguasa, pada . Padahal KH. Mutamakin dalam
cerita rakyat (baca: ‘agama rakyat’) dikenal sebagai Waliyullah, seorang Wali
yang Sholeh, memiliki kedalaman tasawuf yang tinggi sehingga menjadi teladan
bagi masyarakat Pati dan sekitarnya. Lihat, Zaenul Milal Bizawie, Perlawanan
Kultural Agama Rakyat; Pemikiran dan Paham Keagamaan Syekh Ahamad al-Mutamakkin
dalam Pergumulan Islam dan Tradisi (1645-1740), (Yogyakarta: SAMHA,
2002). Karena itu ‘agama rakyat’
sebenarnya adalah istilah yang peneliti gunakan untuk menunjukkan agama dalam
pengertian sistem kepercayaan/keyakinan, yang muncul dari bawah (buttom up),
bukan karena hegemone penguasa. ‘Agama rakyat’ dalam Islam akan akan tercermin
dalam Islam lokal yang memiliki
identitas khas di Pati, sementara dalam agama lokal ia bisa tercermin dalam
komunitas Sedulur Sikep yang juga memiliki sistem nilai dan budaya khas yang
kuat juga terdapat di Pati.
7Ibid. h. 26. Bandingkan juga dengan Roland
Barthes, Element of Semiology,
h. 48-50.
8Suwardi Endraswara, Tradisi Lisan Jawa;
Warisan Abadi Budaya Leluhur, (Yogyakarta: Narasi, 2005) h. 2-3. Bandinglan dengan Jane Stokes, How To Do Media and Cultural
Studies, (Yogyakarta: Bentang Budaya, 2006) h. 172-173.
9Clifford Geerts, The Interpretation of Culture, (New York:
Basic Books, 1973) h. 5
1[1]Umberto Eco, “Social Life as a Sign System”, dalam Robey David (Eds.), Structuralism:
An Introduction, (Oxford: Clarendon Press, 1979) h. 61
[1]2 ST. Sunardi, Semiotika Negativa, h. 52
[1]3Diolah berdasarkan wawancara peneliti dengan juru
kunci ke-11 makam Syekh Jangkung, RH. Damhari Panoto Jiwo, pada September 2009.
[1]4Lihat “Saridin” dalam http://www.mahesajenar.com/2007/02/
saridin. html (on line 15 September 2009). Bandingkan dengan “Mengungkap Sosok Saridin (1); Syeh Jangkung
ketika Kecil Sangat Nakal” dalam HARIAN SUARA
MERDEKA, 28 April 2004. Didukung
wawancara dengan Diolah berdasarkan wawancara peneliti dengan juru kunci ke-11
makam Syekh Jangkung, RH. Damhari Panoto Jiwo, pada September 2009.
[1]5Kethoprak
adalah salah satu bentuk seni tradisional Jawa yang sangat populer. Kesenian
ini tidak hanya terdapat di Jawa, tetapi juga di wilayah lain di mana hidup dan
bertempat tinggal orang-orang Jawa. Kethoprak terdapat di wilayah jawa Tengah,
Jawa Timur, sedangkan di luar Jawa tersebut dapat dijumpai di daerah-daerah
transmigrasi atau pemukiman orang Jawa seperti Lampung dan Medan. Selain itu,
kethoprak juga terdapat di luar negeri, yaitu di Malaysia. Kethoprak sesungguhnya berasal dari Jawa
Tengah, tepatnya dari Klaten. Pencipta kesenian ini belum dapat diketahui oleh
para peneliti. Meskipun demikian, kiranya dapat dipastikan, bahwa kethoprak
lahir pada awal abad ke- 20. Munculnya kesenian kethoprak merupakan
perkembangan dari permainan tradisional Jawa yang disebut gejogan dan kothekan.
Permainan itu berupa penyanyian lagu-lagu rakyat seperti Ilir-ilir,
Ijo-ijo, yang diiringi oleh bunyi lesung dengan berbagai ritme. Gejogan dan
kothekan ini kemudian berkembang menjadi kethoprak lesung. Dalam kesenian yang
baru ini instrumen musik ditambah dengan seruling. Dari kethoprak lesung berkembang
menjadi kethoprak yang disebut gamelan, karena tidak lagi menggunakan lesung
dalam pementasan tapi menggunakan seperangkat gamelan lengkap. Lihat, Umar
Kayam, Pertunjukan Rakyat Tradisional Jawa dan Perubahannya, (Yogyakarta:
Galang Press, 2000).
[1]6Lihat “Pengertian Suluk” dalam http://budayajawa.wordpress.com/2009/01/06/pengertian-suluk/
(diakses tanggal 28 September 2009).
[1]7Wawancara peneliti dengan juru kunci
ke-11 makam Syekh Jangkung, RH. Damhari Panoto Jiwo, pada September 2009.
[1]8Selengkapnya
baca, Emha Ainun Nadjib, “Syahadat Saridin”, http://media.isnet.org/sufi/Etc/SyahadatSaridin.html
(28 September 2009).
[1]9Thomas Lickona,
Educating for Character, How Our School can Teach Respect and Responsibility,
(New York. Bantam Books, 1991), h. 51.
20B. Saebani Ahmad. & A. Hamid, Ilmu Akhlak,
(Bandung: Pustaka Setia, 2010), h. 14-15. Bandingkan dengan Jalaluddin Rakhmat,
Dahulukan Akhlak daripada Fiqh, (Bandung: Mizan, 2007), h. 5-6.
2[1]Amin Abdullah “Pendidikan Karakter : Mengasah Kepekaan
Hati Nurani”. Makalah disampaikan pada acara Sarasehan Nasional Pendidikan
Karakter, Direktorat Jenderal
Pendidikan Tinggi Kementerian Pendidikan Nasional Hotel Santika, Yogyakarta, 15
April 2010.
22Wawancara peneliti dengan juru kunci ke-11 makam Syekh Jangkung,
RH. Damhari Panoto Jiwo, pada September 2009
23Cermati lakon Saridin dalam
DVD Kethoprak “Andom Waris”
24Ibid
25Ibid
Tidak ada komentar:
Posting Komentar