TRAKTAT MARAPALAM “ADAT BASANDI SYARA’- SYARA’ BASAN DI KITABULLAH”
(Diktum Karamat Konsensus Pemuka Adat dengan Pemuka Agama
dalam Memadukan Adat dan Islam di Minangkabau – Sumatera Barat)
Ramayulis *
ABSTRAK
Konsensus
Traktat Marapalam “Adat Basandi Syara’ – Syara’ Basandi Kitabullah” (ABS-SBK)
yang merupakan hasil perjuangan orang Minangkabau, kemudian menjadi filosofi
dan jati diri masyarakat adat dan agama. Secara prinsipil konsensus ini
memberikan landasan filosofis, motivasi keramat dan energi dalam menyalakan spirit perubahan sekaligus
sebagai standar dalam menentukan keabsahan setiap perubahan itu. Dalam kemajuan
dan kemunduran akibat perubahan yang dihadapi sekarang terutama dalam bidang
sosio-kultural yang didominasi Barat, maka masyarakat mencari filternya. Bagi
masyarakat Minangkabau consensus dan falsafah Adat Basandi Syara’ – Syara’ Basandi Kitabullah”
merupakan filter relevan dalam menyaring dampak negatif budaya Barat. Diyakini
dengan penghayatan dan pengalamalan konsesus ini akan efektif menjadi daya
tangkal dampak negatif globalisasi yang sarat dengan pengaruh negatif Barat
seperti liberalisme, sekularisme, materialisme, hedonisme, individualism dsb.
Artinya dengan penerapan diktum karamat konsesus Marapalam ini, masyarakat
Minangkabau tidak akan tercabut dari akar budayanya. Karenanya ketika
diundangkannya UU No. 22 tahun 1999 tentang Otonomi Daerah diganti dengan UU No. 32/ 2004 plus UU No.
08/2005 Sumatera Barat mengimplementasikan otonomi daerah itu dengan
sistim kembali ke nagari berbasis surau dilandasi Perda No. 9/ 2000 dan direvisi dengan Perda No. 02/ 2007, baik
otonomi dalam bidang politik, ekonomi, maupun sosial budaya termasuk
pendidikan. Dengan sistem otonomi Sumatera Barat kembali ke nagari yang
berbasis surau ini, mengukuhkan kembali falsafah masyarakat adat ABS – SBK yang
menjadi konsesus Marapalam ini.
Pendahuluan
Kemajuan ilmu
pengetahuan dan teknologi di era global ini dapat dipastikan membawa perubahan.
Ketika perubahan berdampak negatif, masyarakat mencari filter dan daya
tangkal. Masyarakat Minangkabau masih berkeyakinan filter dan daya tangkal
pengaruh negatif global itu adalah agama dan adat. Substansi menjalankan agama
dengan adat itu sudah pernah menjadi konsensus orang Minangkabau dirumuskan
tokoh agama dan adat dikenal dengan “Traktat Marapalam”. Isi rumusan konsensus
itu berbunyi: “Adat Basandi Syara’ – Syara’ Basandi Kitabullah” (ABS – SBK). Konsensus ini menjadi energy menyalakan spirit perubahan orang Minang yang tetap berakar pada
budayanya. Karenanya konsesus ini menjadi jati diri bahkan menjadi falsafah
hidup orang Minangkabau dan diyakini efektif menjadi filter relevan
dalam menyaring segala dampak negative termasuk dampak globalisasi yang didominasi
budaya Barat.
Demikian
pula ketika muncul pemikiran kontemporer, menawarkan pelaksanaan syari’at Islam di Sumatera Barat, orang Minang
menganggap pemikirnya “telmi” (talat mikir), karena bahasanya tidak pas
dengan zaman perkembangan bahkan memundurkan Minangkabau ke masa lalu, damikian
pula bahasanya tidak menggambarkan citra Minang yang menggunakan bahasa kias.
Sejak abad ke-19 sebelum dirumuskan falsafah bangsa Pancasila, sudah ada
konsensus yang menaruh esensi dan substansi mengamalkan syari’at Islam itu.
Bahasanya tidak menjadi “Negara Islam” dan “mengamalkan Syari’at Islam”, tetapi
secara faktual sosio-kultural dan historis, orang Minang sudah puya bahasa yang
sudah cukup mengakar dan secara pilosofis melandasi pemikiran orang Minang,
yakni Syarak Mangato Adat Mamakai (SM-AM), sebagai cara jitu
untuk mengimplemetasikan filosofi orang
Minang: Adat Basandi Syarak, Syarak Basandi Kitabullah (ABS SBK) sebagai
isi konsensus Traktat Marapalam.
Konsensus
ABS-SBK ini yang substansi adat yang Islami1 sudah pernah menjadi landasan
filosofis penataan Nagari sebagai wilayah subkultur dan pemerintahan adat yang
disebut Belanda sebagai “Republik Kecil”. Tipe Nagari itu adalah “Nagari ABS –
SBK” dengan bentuk struktur pemerintahannya: (1) fungsi eksekutif dijabat
Kapalo Nagari dan perangkat nagari terdiri dari struktur: manti
(sekretaris), bandaro, paga nagari, cati (pembangunan),
pendidikan, (2) fungsi legislatif dijabat Kerapatan Nagari (KN) duduk sebagai
wakil dari unsur Ninik Mamak (NM), unsur Alim Ulama (AU) dan unsur Cadiak
Pandai (CP) dipilih dalam musyawarah KN denan quorum unsur NM, AU, CP, dan (3)
fungsi yudikatif dijabat Ketua Peradilan Nagari.
Setelah
Indonesia merdeka terjadi perubahan nagari bahkan pernah nagari dimarjinalkan
dengan diberlakukan UU No.5/ 1979. Sekarang era otonomi yang Sumatera Barat
mengambil sistem “kembali ke nagari berbasis surau” namun pelaksanaannya
setengah hati dan terkesan mengabaikan konsensus Marapalam, ibaratnya, ABS –
SBK konsensus traktat Marapalam itu, seperti “janji tidak terisi”.
Makalah ini
mencoba menela’ah konsensus pemuka adat
dan pemuka agama Minangkabau ini dalam memadukan adat dan Islam di Minangkabau
– Sumatera Barat. Kajian meliputi (1) Minangkabau pada Masa Pengaruh Hindu dan
Budha, (2) Adat Minangkabau Sebelum Kedatangan Islam, (3) Masuk dan
Berkembangnya Islam di Minangkabau, (4) Proses Terjadinya Konsensus antara Adat
dan Syara’, (5) Implementasi Adat Basandi
Syara’ – Syara’ Basandi Kitabullah
dalam Kehidupan Masyarakat Minangkabau, (6) Relevansi “Adat Basandi Syara’ – Syara’ Basandi Kitabullah” pada Masa
Sekarang.
Minangkabau pada Masa Pengaruh Hindu dan Budha
Minangkabau dengan kebudayaannya telah ada sebelum datangnya Islam,
bahkan juga telah ada sebelum agama Hindu dan Budha memasuki wilayah nusantara
ini, bukanlah kebudayaan Minangkabau itu telah mencapai bentuknya yang
terintegrasi dan mempunyai kepribadian yang kokoh.2 Oleh
karena itu setiap kebudayaan yang datang dari luar yang dirasakan bertentangan
dengan dasar falsafah adatnya tidak dapat bertahan di Minangkabau.
Kebudayaan
luar yang mula-mula masuk ke Minangkabau adalah Hindu/ Budha. Agama Hindu dan
Budha masuk di Minangkabau melalui dua cara ; (1) dengan cara non formal, yaitu
melalui jalur dagang dan (2) dengan cara formal yaitu melalui sistem kekuasaan
pihak yang memenangkan perang.
Cara pertama
melalui jalur dagang, diketahui Daerah Minangkabau strategis dan menguntungkan
bagi lalu lintas perdagangan, karena di wilayah Timur Minangkabau jalur perairan Selat Melaka dan di wilayah
rantau pesisir jalur pantai barat Sumatera berbasis di Banda-X, di Pelabuhan
Emas Pulau Cingkuk dan Pelabuhan Lada dalam Kesultanan Indrapura ramai dilalui
dan disinggahi kapal dagang asing (India, Persia, Gujarat, Arab, Cina,
Sepanyol, Inggiris, Belanda dll) mengangkut tembakau, kopi, lada, emas dll.
Yang mula-mula datang adalah pedagang dari Hindia. Karena pedagang dari Hindia
ini beragama Budha maka mereka sambil berdagang mengembangkan agama Budha,
sehingga agama itulah yang mula-mula masuk dan berkembang di Minangkabau bagian
Timur.
Perkembangan
agama Budha pada tahap ini tidak berjalan secara efektif karena di samping
sukar menyesuaikan diri dengan kebudayaan asli juga mendapat gangguan dari
saudagar Persia yang telah menarik penduduk asli ke dalam agama Islam pada abad
VII dan VIII M, hanya saja pengaruh Islam pada waktu itu belum meluas karena
kedudukan saudagar Persia itu digantikan pula oleh saudagar Cina yang juga
beragama Budha.
Cara kedua
penyiaran agama Budha di Minangkabau mulai berlaku pada waktu raja
Aditiyawarman memerintah di Minangkabau pada tahun 1347-1375 M. Ia adalah seorang Pangeran dari Majapahit yang
dilahirkan dari seorang ibu asal Melayu yang bernama Dara Jingga.
Dalam suatu
perluasan kekuasaan Majapahit ke Pusat pulau Sumatera, Majapahit mengirim suatu
ekspedisi ke Minangkabau dalam perang diplomasi, ekspedisi itu mengalami
kekalahan. Dalam tambo, perang diplomasi itu dilambangkan dengan adu kerbau.
Atas kemenangan kerbau dari Minangkabau, daerah itu kemudian dinamai
Minangkabau.3
Pengaruh
yang ditinggalkan agama Hindu/ Budha yang dibawa oleh Aditiyawarman adalah
munculnya pengertian nagari yang berasal dari bahasa pengikut agama Hindu/
Budha yang berdiam di tengah-tengah orang Minangkabau, di samping itu juga
terlihat pada “saluak” dan destar (tutup kepala pakaian kebesaran
Penghulu).
Setelah
berakhirnya kekuasaan Aditiyawarman di Minangkabau, maka kebudayaan Hindu/
Budha itupun lenyap dari Minangkabau tanpa meninggalkan pengaruh yang berarti
terhadap adat.
Adat Minangkabau Sebelum Kedatangan Islam
Falsafah adat
Minangkabau (sebelum kedatangan Islam) berdasarkan ketentuan yang ada dalam
alam nyata. Alam bagi orang Minangkabau ialah segala-galanya, bukan
hanya sebagai tempat lahir dan tempat mati, tempat hidup dan berkembang,
melainkan juga mempunyai makna filosofis, seperti yang diungkapkan dalam norm
mamangannya; alam takambang jadi guru (alam
terkembang jadi guru). Oleh karena itu, ajaran dan pandangan hidup mereka yang
dinukilkan dalam pepatah, petitih, pituah, mamangan, serta lain-lainya
mengambil ungkapan dari bentuk, sifat dan kahidupan alam.4
Alam dan segenap
unsurnya mereka lihat senantiasa terdiri dari empat atau dapat dibagi dalam
empat, yang mereka sebut nan ampek (yang
empat). Seperti halnya; ada matahari, ada bulan, ada bumi, ada bintang; ada
siang, ada malam, ada pagi, ada petang; ada timur, ada barat, ada utara, ada
selatan; ada api, ada air, ada tanah, ada angin. Semua unsur
alam saling mengikat, saling berbenturan tapi tidak saling melenyapkan, dan
saling mengelompok tapi tidak saling meleburkan. Unsur-unsur itu dinamis sesuai
dengan dialetika alam yang mereka namakan bakarano
bakajadian (bersebab dan berakibat).
Bila alam
dengan segala unsurnya itu dikiaskan kepada kehidupan manusia, sebagaimana
mereka mengiaskan alam sebagai tanah air Minangkabaunya, maka pemahaman unsur
alam bermakna sebagai lembaga atau individu dalam masyarakat mereka.
Masing-masing berhak mempertahankan eksistensinya dalam perjalanan hidupnya.
Sebaliknya, setiap lembaga mempunyai kewajiban untuk memelihara eksistensi
individu dalam lembaganya masing-masing, di samping setiap individu pun
berkewajiban memelihara eksistensi lembaganya pula. Sedangkan harmoni
dipahamkan sebagai keselarasan atau kesesuaian hidup sesama lembaga dan sesama
individu, antara lembaga dan individu, dan sebaliknya. Setiap lembaga atau
individu mempunyai perbedaan dalam kadar dan perannya. Oleh kerena, mereka
tidak dapat bersatu dengan yang lain, tetapi akan tetap sama dengan yang lain.
Jadi dalam dinamika harmoni, mereka dalam masing-masing menjadi satu untuk
bersama dan masing-masing menjadi sama untuk diri sendiri.
Aturan hidup
yang dibuat berdasarkan alam nyata meliputi :
1) Kedudukan orang seorang
2) Hubungan seseorang dengan
masyarakat (orang lain)
3) Perekonomian masyarakat5
Adapun yang
menjadi sendi dasar adat Minangkabau adalah apa yang sering dinamakan dengan
sistem Tungku Tigo Sajarangan yaitu
(1) Alua jo patuik, (2) Anggo jo tanggo, dan (3) Raso jo pareso.6 Funsionaris Tungku Tigo Sajarangan itu
adalah tiga unsur yakni (1) alim ulama, (2) ninik mamak dan (3) cadiak pandai
(cendekiawan).
Yang dimaksud
dengan Alua jo patuik adalah meletakkan sesuatu pada tempatnya substansi hukum.
Anggo jo tanggo dimaksudkan pedoman
dasar yang substansinya sama dengan anggaran dasar/ anggaran rumah tangga
pada sebuah kelembagaan. Sedangkan raso
jo pareso dimaksudkan sebagai dasar
pri kemanusiaan dan pri keadilan berfunsi sebagai peraturan
perundang-undangan. Jadi sendi dasar adat Minangkabau ialah: kewajaran
(meletakkan sesuatu pada tempatnya), hukum keadilan, prikemanusiaan dan
kebenaran.
Fungsi dari
fungsionaris Tungku Tigo Sajaragan (1) fatwa pada ulama, (2) perintah (untuk
dilaksanakan keponakan) pada ninik mamak dan (3) teliti pada cadiak pandai.
Di samping
sistem Tungku Tigo Sajarangan dan Tali Tigo Sapilin, adat Minangkabau juga terbagi empat tingkatan
yaitu :
1)
Adat nan sabana adat, yaitu kenyataan yang berlaku
dalam alam, atau sesuatu yang telah dan terus berjalan sepanjang masa, seperti
adat api dan membakar, adat air membasahi.
2)
Adat nan diadatkan, yaitu sesuatu sistem dan atur
berprilaku yang dirancang, dijalankan serta diteruskan oleh nenek moyang yang
pertama kali menempati Minangkabau untuk menjadi peraturan bagi kehidupan
masyarakat dalam segala bidang.
3)
Adat nan teradat, yaitu kebiasaan setempat yang dapat
bertambah, dengan kata lain adat nan teradat ini dapat saja berbeda antara
suatu nageri dengan nageri lainnya.
4)
Adat istiadat, merupakan aturan adat Minangkabau
yang dibuat dengan kata mufakat (konsensus) ninik mamak yang menampung segala
kemauan dan kesukaan anak nagari selama menurut ukuran alur dan patut seperti
pakaian, kesenian, ukiran dan lain sebagainya.7
Namun dalam
masalah ketuhanan dan kehidupan akhirat tidak terlihat secara nyata dalam adat
Minangkabau karena adat tersebut
didasarkan kepada alam nyata. Dalam pepatah adat dinyatakan :
Panakiak pisau sirauik (pemotong
pisau siraut)
Ambiak galah batang lintabung (ambil
galah batang lintabung)
Salodang ambiak ka niru (salodang
ambil ka niru)
Satitiak jadikan lauik (setetes
jadikan laut)
Sakapa jadikan gunuang (sakapa
jadikan gunung )
Alam takambang jadikan guru (alam
terkembang jadikan guru)
Dalam petatah
tersebut terlihat sekali falsafah alam dari adat Minangkabau, begitu pula dalam
pepatah :
Gajah mati maninggakan gadiang (gajah mati
meninggalkan gading)
Harimau mati maninggakan balang (harimau
mati meningglkan belang)
Manusia mati maninggakan namo (manusia
mati meninggalkan nama)
Jadi dari
pepatah di atas terlihat ketidakjelasan arah kehidupan setelah manusia meninggal
dilihat dari perspektif syara’ (Islam).
Masuk dan Berkembangnya Islam di Minangkabau
Menurut para
sejarawan, masuk dan berkembangnya Islam di Minangkabau melalui tiga tahap :
Tahap
pertama, yaitu melalui jalan dagang. Sifat keterbukaan
suku bangsa Minangkabau serta adanya komoditi dagang yang diperlukan,
mengundang datangnya saudagar-asudagar asing untuk memasuki dan mengembangkan
pengaruhnya di Minangkabau. Pada abad
VII M, pedagang-pedagang berasal dari India (Hindia), Persia, Gujarat,
Arab, Cina banyak yang datang ke Minangkabau bagian timur untuk membeli lada,
sedangkan pedagang-pedagang tersebut telah memeluk agama Islam. Demikian pula
lewat jalur perairan, pedagang telah mendirikan kloni Arab di daerah pantai
Barat Sumatera. Tidak mustahil pada waktu itu telah berlangsung penyiaran agama
Islam secara tidak resmi, baik melalui pergaulan maupun perkawinan. Penyiaran
Islam waktu itu berjalan dengan baik walaupun tidak terencana, serta mudah
berkembang di antara pribadi-pribadi orang Minangkabau karena ajarannya
sederhana mudah dipahami dan dalam beberapa hal searah dengan kebudayaan dan
falsafah adat yang telah berkembang sebelumnya.8
Tahap kedua,
penyiaran agama pada tahap ini terjadi pada saat Pesisir Barat Minangkabau
berada di bawah pengaruh Aceh. Sebagai umat yang berasal dari wilayah Indonesia
yang lebih dahulu memeluk agama Islam, saudagar/ mubaligh Aceh giat menyiarkan
Islam di daerah pesisir yang telah menjadi pengaruh Aceh. Bahkan pengislaman
Minangkabau secara besar –besaran dan terencana terjadi setelah pesisir berada
di bawah pengaruh Aceh.9 Demikian pula penyebaran Islam berbasis Minang
sebenarnya sudah pula meluas sejak abad ke-15, sampai ke Indonesia Bagian Timur
disebarkan tiga ulama dari Minang yakni Dato’ Ritimang, Dato’ Ritiro dan Dato’
Ribandang. Ke Brunei melalui Serawak dikenal Dato’ Godam, ke Philipina
disebarkan da’i Arab asal Minang dikenal Rajo Bagindo (Raja Baguinda) menjadi
raja di Buansa dan putrinya menikah dengan da’i Arab temannya yang kemudian
mendirikan keraja Sulu Philipina.
Pengembangan
Islam secara terencana terjadi setelah 6 orang putra Minangkabau pergi ke Aceh
setelah menamatkan pelajaran dengan Syeikh Tapakis. Mereka ke Aceh
melanjutkan pelajaran ilmu agama Islam kepada seorang ulama besar yaitu Syekh
Abdur Rauf. Mereka 6 orang itu ialah Syeikh Burhanuddin Ulakan
(Pariaman) ahli tasauf, Syeikh Buyung Muda Puluik-puluik Bayang (Pesisir
Selatan) ahli ilmu sharaf (morpologi Arab), Syeikh Muhammad Nasir Koto
Panjang Padang ahli tasir, Syeikh Muhsin/ Supayang Solok ahli nahu
(sintaksis Arab), Syeikh Padang Ganting Tanah Datar ahli fiqhi (hukum
Islam) dan Syeikh Khalidin (Ipuh) ahli tasauf.
Sepulang 6
ulama Minang dari Aceh itu, mereka mengajarkan agama Islam secara teratur
berbasis pada jaringan surau mereka (di Ulakan Pariaman, Bayang Pesisir
Selatan, Koto Panjang Padang, Supayang Solok, Ipuh dan Padang Ganting Tanah
Datar). Jaringan surau ulama ini berfungsi sebagai lembaga pendidikan Islam dan
rami dikunjungi orang-orang Minangkabau dari seluruh pelosok nageri dan juga
dari luar Minangkabau. Melalui merekalah Islam semakin berkembang sampai ke
Darek (daerah dataran tinggi). Dari kejadian inilah muncul petatah adat “syara’ mandaki adat manurun”.10
Tahap
ketiga, Islam masuk dari daerah pesisir, mendaki dan berkembang ke seluruh alam
Minangkabau. Walaupun di pusat kejaraan Pagaruyung raja masih beragama Budha,
namun sejak abad XV M sebagian daerah Minangkabau telah memeluk agama Islam.
Setelah raja Anggawarman telah memeluk agama Islam, dan mengganti namanya
dengan Sultan Alif, maka secara resmi Islam telah masuk di istana Pagaruyung.
Hal ini sangat berpengaruh sekali bagi perkembangan Islam dan semenjak saat itu seluruh rakyat
Minangkabau resmi memeluk agama Islam. Semenjak itu pulalah dimulai perombakan
lembaga pemerintahan menyesuaikan dengan lembaga yang telah ada dalam Islam.
Muncul lembaga pemerintahan baru di tingkat atas yaitu Raja Ibadat, yang
berkedudukan di Sumpur Kudus, sebagai
imbangan terhadap Raja Adat yang berkedudukan di Buo10 dan
Rajo Alam di Pagaruyung.
Kedatangan
agama Islam ke Minangkabau berbeda dengan kedatangan agama Hindu dan Budha.
Agama Hindu dan Budha tidak bertahan lama di Minangkabau, karena ajarannya
banyak yang bertentangan dengan adat Minangkabau.
Kedatangan Islam ke Minangkabau menjadi rahmat (kasih sayang) bagi masyarakat
Minangkabau. Hal ini disebabkan karena masuk dan berkembangnya Islam di tengah
adat yang ada sebelumnya, sejalan dengan pola yang telah ditempuh nabi Muhammad
SAW sebagai pembawa ajaran Islam, waktu masuk ke tanah Arab sebelumnya juga telah diatur oleh tatanan
adat. Pola yang dimaksud adalah sebanyak mungkin menerima dan menyerap adat
yang telah ada dan disatukan dengan ajaran agama yang datang kemudian.11
Islam
membawa tatanan tentang apa yang harus diyakini oleh umat atau yang disebut akidah dan tatanan tentang apa yang harus mereka amalkan, yang disebut
dengan syari'ah atau syara’. Yang menyangkut dengan akidah
ini terutama tentang ketuhanan. Adat Minangkabau tidak menampakkan bentuknya
yang nyata dan hanya mendasarkan kepada alam nyata. Tidak ditemukan ajaran
tentang kehidupan di balik kehidupan nyata ini seperti yang sudah dijelaskan
sebelumnya.
Setelah
Islam masuk adat Minangkabau diarahkan secara perlahan-lahan kepada keyakinan
akan alam ghaib (alam akhirat) sebagai tujuan hidup manusia. Jika pada mulanya
adat Minangkabau hanya mengakui alam nyata saja dan dengan pengaruh Islam
akhirnya berubah kepada pengakuan akan adanya alam ghaib (alam akhirat) sebagai
tujuan akhir untuk bertemu dengan sang Pencipta alam nyata ini yaitu Allah swt.
Proses
Terjadinya Konsensus antara Adat dan Syara’
Filosofi Adat Basandi Syara’ – Syara’ Basandi
Kitabullah (ABS – SBK),
merupakan puncak dari persentuhan, perbenturan, penyesuaian dan perpaduan antara adat
Minangkabau yang sudah ada semenjak dari ninik moyang dengan agama Islam yang
datang kemudian.
Lahirnya falsafah ABS
– SBK tidaklah muncul begitu saja, akan tetapi melalui masa yang panjang, bahkan
dalam masa yang panjang itu terjadi perbenturan/ konflik antara adat dan agama
Islam. Hal ini terjadi karena adat Minangkabau sudah mempunyai tatanan
kehidupan baik secara individu maupun secara bermasyarakat. Di samping itu
Islam yang datang kemudian juga membawa tatanan dalam kehidupan dalam segala
segi dan juga menuntut ketaatan dari pada pemeluknya. Dengan kedatangan
Islam itu bertemulah dua tatanan
kehidupan di alam Minangkabau yang masing-masing menuntut kepatuhan dari
umat/masyarakat penganut/pendukungnya. Dengan demikian mulailah
terjadi persentuhan yang saling tarik menarik antara adat dan agama.
Ada beberapa
tahapan yang dilalui dalam rangka menuju kepada bentuk yang terpadu dan serasi
antara adat dan agama Islam, yaitu:
Tahap pertama,
adat dan syara’ (Islam) berjalan sendiri-sendiri dalam batas-batas yang tidak
saling mempengaruhi. Masyarakat Minangkabau
menjalankan agamanya dalam bidang akidah dan ibadah, tetapi yang
menyangkut kehidupan sosial, adat lama masih tetap berlaku, sebagaimana
dikatakan oleh pepatah sebagai filosofi adat “Adat Basandi Alur dan Patut – Syara’
Basandi Dalil (ABAP – SBD)” (adat berdasarkan aturan dan
kepantasan, syara’ berdasarkan dalil), maksudnya adalah adat berdasarkan kepada
jalur dan kepatutan dan syara’ berdasarkan
kepada dalil yang terdapat dalam al Qur’an dan Sunnah Rasulullah.
Tahap kedua, satu sama
lain saling menuntut hak tanpa menggeser kedudukan
pihak lain. Di sinilah muncul filososfi: “Adat Basandi Syara’ – Syara’ Basandi Adat (ABS – SBA)” (adat bersendikan
kepada syara’ dan syara’ bersendikan kepada adat). Pepatah adat ini mengandung
arti bahwa adat dan syara’ saling membutuhkan dan tidak dapat dipisahkan.12
Pada tahap
kedua ini terjadi penyesuaian yang mengandung arti bahwa bangunan lama (adat
Minangkabau) dapat dipertahankan dan bangunan baru (ajaran Islam) diterima
adanya. Dalam tanggung jawab keluarga seorang lelaki dalam fungsinya sebagai
ayah dan sebagai mamak dituntut bias mendistribusikan tanggung jawab sesuai
dengan fungsinya (sebagai ayah atau mamak), misalnya dinyatakan dalam pepatah :
Kaluak paku kacang balimbiang (kelok
pakis kacang belimbing),
tampuruang lenggang lenggangkan
(tempurung lenggang lenggangkan),
baok bajalan ka Saruaso (bawa
berjalan ke Saruaso)
Anak dipangku kamanakan di bimbiang (anak
dipangku keponakan di bimbing)
urang kampuang di patenggangkan
(orang kampung diperhatikan)
tenggang adaik jan binaso (pelihara
adat jangan binasa).
Maksudnya
bahwa seorang laki-laki dalam keluarga adalah paman oleh keponakannya, adat
menuntut agar dia menanggung kehidupan keponakannya. Dalam waktu yang sama dia
adalah ayah dari anak-anaknya, syara’ menuntutnya agar memberi nafkah
anak-anaknya. Di samping itu dia juga anggota masyarakat, maka dia juga harus
memberikan bantuan kepada masyarakat (keponakan).
Tanggung
jawab seorang laki-laki di Minangkabau dilaksanakan sebagaimana digambarkan
dalam pepatah sebagai berikut :
Padang banamo panjariangan (Padang
bernama Panjaringan)
Tampaik bajalan rang batigo (tempat
berjalan orang bertiga)
Mambaok adaik jo pusako (membawa
adat dengan pusaka)
Anak dipangku jo pancarian (anak
dipelihara dengan hasil pencarian)
Kamanakan di bimbiang jo pusako (keponakan
dibimbing dengan harta pusaka)
Rang kampuang di tangguang jo bicaro
(orang kampung dibantu dengan fikiran).
Dalam periode tahap kedua ini berkembang surau
ninik mamak belum mengajarkan agama secara kuat yang kuat adat dan ilmu bela
diri/ silat. Surau ninik mamak ini didirikan dalam kampung sukunya memperkuat
masjid dan balai adat di nagari. Fungsi surau ninik mamak di
samping tempat belajar adat dan silat masyarakat Minang itu sebagai sumber
mengajarkan nilai budi (prilaku), juga berfungsi tempat tidur keponakan lelaki
dari umur 5 tahun ke atas bahkan juga tempat tidur lelaki bujang dan lajang
termasuk lelaki yang bercerai dengan isterinya. Dalam perjalanan surau ninik
mamak ini masih terkesan terpisah dari surau ulama, bahkan surau ninik mamak
ini dinilai oleh ulama ada kesan bahwa dalam pelaksanaan adat terdapat prilaku
yang terlarang dalam Islam seperti bersulang, menyabung ayam, berjudi di
samping praktek takhayul, bid’ah dan c(k)hurafat (TBC). Fenomena ini
menimbulkan perselisihan di antara datuk (penghulu ninik mamak suku) dan
tuanku-tuanku (pimpinan alim ulama). Kemudian dengan kebijakan para datuk dan
tuangku didukung orang tua cerdik pandai dapat kata sepakat perdamaian adat dan
syara’.13
Tahap ketiga,
terjadi konsensus antara adat Minangkabau dengan ajaran Islam. Tahap ketiga ini
sebenarnya dilatarbelakangi oleh rasa belum puas yang muncul pada diri sejumlah
pemuka agama setempat yang menuntut ilmu keislaman di Arab Saudi. Mereka ingin mengadakan pemurnian
Islam tanpa kenal kompromi mirip gerakan wahabi seperti yang ditempuh
oleh pemuka agama sebelumnya. Pemuka agama yang berpendapat demikian adalah
Haji Miskin, Haji Sumanik, dan Haji Piobang. Mereka diilhami oleh gerakan
Wahabi yang dipelopori oleh Muhammad bin
Abdul Wahhab, tokoh pemurni ajaran Islam di Arab Saudi. Mereka ingin agar
bentuk pemurnian yang mereka saksikan juga dipraktekkan di Minangkabau. Ide ini
mendapat dukungan dari ulama lain yang kebetulan tidak menyukai kompromistis
tersebut sehingga terjadi konflik secara terbuka antara ulama pemurni dan
pemuka adat beserta golongan ulama lain yang memihak adat istiadat Minangkabau.
Gerakan pemurnian agama ini dikenal dengan “Kaum Paderi”. Mereka ingin
melaksanakan hukum Islam, baik dalam soal ibadah maupun muamalah
(kemasyarakatan) secara murni. Mereka berpendapat bahwa adat Minangkabau yang
tidak sesuai dengan ajaran Islam sama dengan adat Jahiliyah dan harus
dihabiskan. Pemberantasan dugaan adat jahiliyah oleh ulama pemurni ajaran Islam
ini kemudian dikenal dengan paderi.
Gerakan
paderi yang satu sisi merupakan social movement dalam pemurnian agama
oleh ulama paderi dari perspektif
sejarah berbasis di surau-surau ulama paderi itu. Dalam gerakannya berhadapan langsung dengan
sasaran surau ninik mamak. Surau ulama saat itu berada di papan atas dengan keras
memberikan koreksi total terhadap surau ninik mamak/ surau suku yang dianggap
sarang TBC (Takhayyul, Bid’ah dan Churafat) meskipun sudah menggiatkan
pengajaran agama (syara’). Karena dianggap surau ninik mamak masih membiarkan
adat menganut perilaku bertentangan dengan Islam seperti praktek bersulang
minum tuak, menyabung ayam, judi di samping praktek TBC tadi, maka surau ini
banyak dirobohkan kaum paderi.
Surau ninik
mamak sudah berfungsi sebagai sentra pembinaan trilogi masyarakat Minangkabau
yakni agama, adat dan ilmu bela diri/ silat. Surau ninik mamak ini dipimpin
oleh « malim » salah satu unsur
dari urang nan-4 jinih (U4J – orang yang mempat jenis). Unsur
orang yang empat jenis ini ialah (1) penghulu (dengan jabatan datuk
sebagai pimpinan teratas setiap suku/ ninik mamak di kampungnya), (2) manti
(orang yang cerdik pandai, juru bicara adat dan agama/ syara’), (3) malim
(orang yang menguasai agama/ syara’) dan (4) dubalang (hulu
balang/ aparat hankam dalam masyarakat adat Minang). Malim dalam
mengembangkan agama/ syara’ dan membina masyarakat adat/ kepenakan beragama
berbasis pada surau disebut dengan surau ninik mamak. Malim dibantu pula
oleh unsur pimpinan agama kolektif yakni urang jinih nan-4 (UJ4 –
orang jenis yang empat) yakni : (1) imam, (2) katib (khatib), (3) bila
(bilal) dan (4) kadi (qadhi fungsi pembantu pencatat NTCR/
seperti fungsi penghulu ala Jawa). Malim dengan « orang jinih yang
empat » ini merupakan elit agama membina surau ninik mamak di Minangkabau
dan menjadikan surau itu sebagai « simbol adat » dengan fungsi pusat
« budi» (al-akhlaq al-karimah) yang mengajar anak
keponakannya berbudi. Surau inilah yang dirobohkan oleh paderi, karena
dianggap sebagai sarang TBC dan diduga
basis pengkhianatan ninik mamak.14 Fenomena konflik ulama (pemuka
agama) paderi dan ninik mamak (pemuka adat) ini kemudian ditunggangi oleh
kepentingan Belanda, pada gilirannya menjadi konflik terbuka dikenal dengan Perang Paderi abad ke-19
dasawarsa ke-3-4).
Konflik
terbuka antara pemuka adat dan pemuka agama (ulama paderi) ini pada akhirnya
terdapat juga titik temu. Mereka orang arif bijaksana. Kepiawaian mereka
disebut dalam adat «lubuk aka tepian budi « (lubuk akal tepian
budi), akal tidak pernah terbentur buntu dan kering,
budi tidak pernah terjual. Mereka memperdamaikan adat dan syara’ dengan bijak
ibarat « menarik rambut dalam tepung, rambut tidak putus dan tepung
tidak terserak«. Terwujudlah « konsesus bersama » yang hasilnya
secara prinsipil, sangat menentukan gerakan penguatan adat dan agama dalam
membentengi kehidupan dan memberdayakan masyarakat Minangkabau ke depan.
Kesepakatan (konsensus) antara ulama dan ninik mamak mengambil tempat di Bukit
Marapalam Kabupaten Tanah Datar Sumatera Barat (sekarang) abad ke-19. Konsensus
ini kemudian dikenal dengan sebutan “Traktat Marapalam” (Perjanjian Bukit
Marapalam).
Dalam
pembuatan konsensus ini hadir para pemuka adat dan pemuka agama Islam di
Minangkabau. Isi traktat ini tak lain merupakan puncak strategi penyebaran
Islam tahap ke-3 dalam lingkungan masyarakat Minangkabau. Dari hasil konsensus
inilah lahir falsafah adat Minangkabau sebagai isi traktat Marapalam itu yang
berbunyi : “Adat Basandi Syara’ – Syara’ Basandi Kitabullah (ABS-SBK) dan dalam implementasinya
dirumuskan dengan strategi Syara’
Mangato, Adat Mamakai (SM-AM / apa
yang dikemukakan oleh syara’ dilaksanakan oleh adat). Selanjutnya dalam
pelaksanaan adat bersendikan kepada syara’ dan syara’ bersendikan pula kepada
Kitabullah). Jadi, perinsipnya dalam pelaksanaan adat Minangkabau adalah tidak
bernama adat Minangkabau kalau betentangan dengan Islam. Tegasnya dalam
konsesus Marapalam yang isinya ABS-SBK adalah adat Minangkabau itu adalah
pelaksanaan Islam, sangat Islami, yang kemudian menjadi filosofi kehidupan
orang Minangkabau.
Jika dilihat
proses kelahiran falsafah ABS-SBK ini pada tahap pertama, adat dan Islam
berkembang seiring sejalan, tetapi tidak ada titik temu, lalu pada tahap kedua
sudah saling merangkul, maka pada tahap ketiga terjadilah penyesuaian (basandi)
dan perdamaian adat dengan syara’. Tahap ketiga merupakan puncak proses
asimilasi antara adat dengan syara’ yang sudah berjalan ratusan tahun.
Implementasi Adat Basandi Syara’ –
Syara’ Basandi Kitabullah (ABS –
SBK) dalam Kehidupan Masyarakat Minangkabau
Dengan
adanya konsensus ini, maka secara perlahan-lahan adat Minangkabau menyesuaikan
diri dengan ajaran Islam, baik dalam bidang akidah, dalam bidang ibadah, maupun
dalam bidang muamalah (sosial kemasyarakatan). Bahkan dengan penerapan
konsensus ABS – SBK kemudian ditegaskan adat itu melaksanakan Islam, karenanya
tidak adat Minang namanya kalau bertentangan dengan Islam.
Sebagai
implikasinya dapat dilihat dalam bidang kemasyarakatan, Islam menyempurnakan adat seperti terlihat dalam
arsitektur sakral pada bangunan masjid dan surau, terdapat menara mempunyai
struktur yang terdiri atas simbol bangunan adat (bergonjong) dan simbol
arsitektur bangunan Islam (berkubah). Begitu juga arsitektur bangunan sivil
dalam wujud rumah penduduk dan rumah gadang adat mengesankan adat berdampingan
dengan rumah ibadah.
Dalam sistem
pemerintahan pada mulanya di Minangkabau hanya ada lembaga Raja Alam dan Raja
Adat yang mengurus pemerintahan adat dan khusus urusan adat, kemudian
dilengkapi dengan ada lembaga Raja Ibadat yang mengurus ibadah (persoalan agama
Islam). Maka terbentuklah lembaga baru dengan nama “Rajo nan Tigo Selo” (Raja yang tiga bertahta duduk berdampingan),
yakni Raja Adat di Buo Lintau, Raja Ibadat di Sumpur Kudus dan Raja Alam di
pusat pemerintahan Pagaruyuang (sekarang ketiga daerah ini masuk ke wilayah
administratif Kabupaten Tanah Datar)”.
Di bidang
pemerintahan juga dikenal dengan Dewan Menteri dengan nama “Basa Ampek Balai” (Besar Empat Balai), yakni Bandaro di Sungai Tarab,
Indomo di Saruaso, Tuan Kadi di Padang Gantiang, dan Makhudum di Sumanik (juga
di Tanah Datar). Bandaro, Indomo dan Makhudum merupakan pelaksana tugas bidang
pemerintahan dari Raja Alam di Pagaruyung, sedangkan Tuan Kadi sebagai
pelaksana tugas dari Raja Ibadat untuk mengurus urusan keagamaan. Pada tingkat
bawah juga dikenal dengan “penghulu,
manti, dan dubalang”. Setelah
Islam masuk, ditambah dengan “malin”. Penghulu dari kelompok ninik
mamak, manti dari kelompok cerdik pandai, dubalang dari kelompok kaum muda dan
malin dari kelompok alim ulama.
Wewenang dan
hak/ kepiawaian bicara masing-masing digambarkan dalam pepatah sebagai berikut
:
Kato panghulu kato manyalasai (kata
penghulu kata menyelesaikan)
Kato ninik mamak kato barubuang (kata
ninik mamak kata bermanfaat
Kato malin kato hakikaik (kata
malin kata hakekat)
Kato dubalang kato mandareh (kata
dubalang kata tegas/ keras)
Tanggung
jawab masing-masing digambarkan dalam
pepatah:
Penghulu tagak di pintu adat (penghulu
berdiiri di pintu adat)
Malin tagak di pintu syara’ (malin berdiri di pintu syara’)
Manti tagak di pintu susah (malin berdiri di pintu kesusahan)
Dubalang tagak di pintu mati (dubalang
tagak di pintu mati)
Dalam
persyaratan pembentukan sebuah nagari di Minangkabau di samping persyaratan
yang sudah ada menurut adat, yaitu suku
nan ampek, balai, labuah, tapian, sawah, ladang, pandam pakuburan,
ditambah lagi syarat baru sesuai dengan tuntutan syara’, yaitu surau dan
musajik (masjid) tempat ibadah.
Perbenturan
antara adat Minangkabau dengan ajaran Islam pernah
juga terjadi karena pilaku pemangku adat yang tidak memahami syara’ dan t. okoh
agama yang tidak memahami adat. Fenomena benturan/ diperbenturkan adat dan syara’
itu terkesan dalam “bidang sosial budaya khususnya seperti menyangkut sistem
kekerabatan yang menentukan bentuk perkawinan, kediaman dan pergaulan, serta
pewarisan harta”15
terutama puska tinggi. Adat Minang menganut sistem
kekerabatan matrilinial, sedangkan
ajaran Islam menganut kekerabatan parental.
Dalam kehidupan tempat tinggal keluarga menurut adat adalah secara matrilokal, sedangkan ajaran Islam
menghendaki tempat tinggal keluarga disediakan oleh suami. Sistem kewarisan
yang berlaku dalam adat adalah unilateral
kolektif sedangkan menurut ajaran Islam adalah bilateral individual.16
Oleh karena
kedua belah pihak (tokoh adat dan syara’) yang berbeda dalam prinsip, maka
persentuhan dan penyesuaian berlangsung lama dan berlarut-larut. Pada mulanya
terlihat bahwa tidak ada di antaranya yang memberikan tempat ke pada pihak
lain. Keduanya berkelanjutan adanya berdampingan tangan. Berkat kepiawaian dan
toleransi antara pemuka adat dan pemuka agama, secara perlahan-lahan akhirnya
dapat diselesaikan secara konsensus
tanpa menghilangkan hal-hal yang bersifat prinsip baik dalam adat maupun dalam
agama.
Suatu
konsensus tentang pembagian harta warisan oleh pemuka adat dan pemuka agama
adalah “Harato pusako dibagi sacaro
adaik, harato pancarian dibagi sacaro hukum faraidh”. Harta pusaka tinggi dalam adat tidak boleh
dibagi, tidak boleh dijual dan tidak boleh digadaikan. Ibarat memiliki sebuah
pokok tanaman, buah manisnya boleh dimakan, tetapi batangnya tidak boleh dijual
dan digadai. Harta pusaka tinggi itu dari mamak turun ke keponakan. Keponakan
tidak tahu asal usulnya yang pasti karena tidak baik/ tidak boleh dijual.
Berarti,
harta pencaharianlah yang boleh dibagi menurut hukum Islam (faraidh) sementara
harga pusaka tinggi bukanlah harta dari si mayit atau yang meninggal itu,
tetapi harta turun temurun yang dipusakai dari nenek moyang dahulu, yang dapat
dianalogikan sebagai “wakaf” kaum. Harta pusaka yang waqaf kaum ini umumnya
berupa tanah, termasuk tanah sawah,
ladang, bintalak, dan sebagainya, lalu rumah dan harta tak bergerak lainnya.
Jika harta
pusaka tinggi ini juga dibagi, maka itulah yang salah, karena membagi harta
yang bukan punya si mayit. Hukum faraidh, bagaimanapun, sendirinya berlaku
untuk harta pencaharian.
Menurut
Mochtar Naim, secara sosiologis, bagaimanapun karena ada keharusan melindungi
kaum yang perempuan dalam setting budaya matrilineal itu, maka bukan saja tanah
dan harta pusaka tinggi lainnya yang tidak dibagi, rumah yang dibikinkan oleh
suami yang meninggal pun tidak dibagi menurut hukum faraidh, tetapi tetap
tinggal pada istri dan anak-anak perempuannya. Ini bisa jatuh kepada masalah “mashalihul mursalah” demi menjaga muruah
dan martabat anggota kaum yang lemah yang perlu dilindungi itu. Perlakuan
penghargaan yang tinggi terhadap perempuan dalam adat dan budaya Minangkabau
hanya bisa tertandingi oleh hukum Islam yang juga sangat menjunjung tinggi akan
muruah dan martabat wanita.17
Karenanya
konsensus ABS – SBK yang mendamaikan adat Minangkabau dan agama Islam, bisa berjalin berkelindan bagai cincin lekat
di jari manis. Praktek ini pernah dilembagakan secara spasifik dengan era tipe
nagari ABS – SBK, namun kemudian bentuk nagari itu berubah apalagi setelah
kemerdekaan struktur dan bentuk wilayah pemerintahan berubah sesuai peraturan
perundang-undangan sampai sekarang ke era otonomi menerapkan UU No. 22 tahun
1999 tentang Otonomi Daerah diganti dengan
UU No. 32/ 2004 plus UU No. 08/2005 dan Sumatera Barat mengimplementasikan
otonomi daerah itu dengan sistim kembali ke nagari berbasis surau dilandasi
Perda No. 9/ 2000 dan direvisi dengan Perda
No. 02/ 2007, baik otonomi dalam bidang politik, ekonomi, maupun sosial
budaya termasuk pendidikan. Dengan sistem otonomi Sumatera Barat kembali ke
nagari yang berbasis surau ini bermaksud hendak melaksanakan konsensus ABS –
SBK namun yang berjalan belum maksimal, apakah mungkin karena pelaksanaannya
setengah hati. Islam dan adat dalam hubungannya dengan pembangunan aspek lain
dalam pemerintahan daerah otonomi belum optimal damai, karena terkesan,
membangun agama dan adat baru sloganistik pejabat, tetapi pasilitas amat kecil
dibanding dengan pasilitas pembangunan aspek lainnya, makanya dalam fenomena
ini konsensus ABS – SBK perlu direpitalisasi dalam pemerintahan otonomi
Sumatera Barat.
Berbalik
kepada persoalan perdamaian adat dan syara’, dalam Islam yang sama sekali tidak boleh ditolerir adalah
yang berkaitan dengan masalah ‘akidah dan ‘ubudiyah, yang kalau dilakukan
menjadi syirik dan bid’ah. Islam sebagai
sebuah agama yang di dalamnya terdapat budaya sangat menyadari akan arti dan
keberadaan dirinya, di samping juga menyadari akan arti dan keberadaan
budaya dan masyarakat yang didatanginya.
Islam datang bukan untuk melenyapkan budaya dan nilai budaya dari daerah-daerah
yang dimasukinya, Islam malah
memperkayanya. Misalnya masuknya Islam ke Mesir, ke benua Afrika lainnya, ke
Spanyol, ke Persi, ke India dan lain-lain menunjukkan betapa Islam datang bukan untuk mengikis adat dan budaya-budaya
yang ada, tetapi justru memberi jiwa dan semangat baru dan memperkayanya.
Yang penting
yang harus diperkenalkan adalah kredo “tauhid” menggantikan kredo-kredo
lainnya, sementara urusan ‘amaliyah
ijtima’iyah pada dasarnya sesuai
dengan sabda Rasulullah SAW yaitu ; “Kamu yang lebih tahu tentang urusan
duniamu”. Dari hasil perkawinan budaya-budaya itulah lahirnya budaya dan peradaban Islam yang
bersifat akomodatif, toleran, integratif dan universal.
Walaupun pada
masa-masa tertentu terjadi persengketaan antara adat dan syara’ (Islam) namun
wilayah persengketaan sebegitu jauh
lebih pada interpretasi dan praktek pelaksanaannya dan bukan pada aspek
filosofinya. Perbedaan intepretasi dan praktek pelaksanaan inilah yang sampai
saat ini masih mengganjal dan cukup memenuhi ruang-ruang pengadilan di
peradilan adat dan peradilan negeri, baik yang bersifat perdata maupun pidana
sekalipun. Masyarakat Minangkabau bahkan cukup direpotkan dengan masalah harta
ini, terutama dengan perubahan nilai dan pergeseran orientasi nilai yang
terjadi sepanjang abad 20 sampai saat ini.18
Secara
sosiologis kita menyaksikan perubahan-perubahan yang cukup signifikan yang
sedang terjadi, baik dalam struktur sosial, ekonomi, politik, dan bahkan
kebudayaan itu sendiri. Masyarakat Minangkabau sedang beranjak dari masyarakat agraris berorientasi modal
lahan/ tanah pusaka ke masyarakat modern yang berorientasi uang. Kehidupan yang
tadinya bersifat komunal beranjak kepada kehidupan yang bersifat individual
didominasi hak private. Kehidupan rural berpindah ke kehidupan urban dan
global. Yang terjadi adalah juga pendangkalan aqidah dan rasa kebersamaan,
serta terjadi pergeseran dari sistem nilai yang bersifat absolut ke sistem nilai yang bersifat relatif.
Masyarakat
Minangkabau sebagaimana juga dengan masyarakat lainnya di Indonesia, sekarang
ini sedang menghadapi goncangan-goncangan budaya (culture
shocks) yang sangat hebat akibat tantangan dan serangan yang datang dari
berbagai penjuru dunia secara bertubi-tubi, di samping juga akibat proses pelapukan
yang juga terjadi dari dalam sendiri, yang semua ini bisa membahayakan
eksistensi dan keberkelanjutannya sendiri.19
Hanya
kesadaran dan keinginan untuk mempertahankan harga diri sebagai orang Minangkabau
yang bisa menyelamatkannya. Proses globalisasi bisa melemahkan dan melenyapkan
semua budaya-budaya daerah tetapi juga bisa menempatkannya sebagai budaya
pemandu, manakala nilai-nilai budaya yang dikandungnya bernuansa global dan
universal, seperti yang dilakukan oleh Jepang setelah perang dunia, bahkan
Islam mempunyai peluang yang lebih besar untuk itu justru karena memiliki nilai
budaya yang bernuansa global dan universal itu. Prinsip kesamaan dan
kebersamaan sangat menonjol dalam Islam, sedang prinsip keadilan dan kesetaraan
di hadapan hukum merupakan prinsip dasar dalam ajaran Islam.20
Sehubungan
dengan semua fenomena, masalah dan pemikiran sebagai jawabannya di atas tadi,
masyarakat Minangkabau (Sumatera Barat)
pada saat ini tetap mengasosiasikan diri dengan budaya dan nilai-nilai
keislaman. Sebagai indikatornya dapat dilihat dengan lahirnya beberapa
peraturan daerah (Perda) seperti Perda
“Kembali ke Surau”, Perda “Kembali ke Nagari”, Perda “Pemakaian Busana Muslim”,
Perda “Penambahan Mata Pelajaran Tulis Baca al Qur’an dan Budaya Alam
Minangkabau (BAM)” dalam kurikulum Muatan Lokal pada setiap jenis dan jenjang
pendidikan di Sumatera Barat. Ini semua secara substansial pemerintahan daerah
otonomi Sumatera Barat tetap ingin melaksanakan secara optimal konsensus
traktat Marapalam yang isinya ABS – SBK.
Relevansi ABS - SBK pada Masa Sekarang
Dalam pelaksanaan otonomi
daerah sekarang, Pemrov, Kabupaten dan Kota se Sumatera Barat sudah memilih
sistem otonomi “kembali ke nagari berbasis surau”, maka diktum konsensus
traktat Marapalam “Adat Basandi Syara’ – Syara’ Basandi Kitabulla (ABS –
SBK) semakin relevan memperkuat identitas sepesifik otonomi daerah di subkultur
Minangkabau, jati diri dan filosofi kehidupan masyarakatnya, energy
orang Minang menyalakan semangat perubahan dan pembaharuan seerta filter dalam
menyaring dan menangkal pengaruh negatif yang datang dari lingstra (lingkungan
strategis) lokal, nasional dan internasional yang disarati pengaruh global. Ada beberapa alasan dalam simpul kecil sebab.:
1. Diktum Karamat “Adat Basandi Syara’ – Syara’ Basandi
Kitabullah” (ABS – SBK) merupakan usaha orang Minangkabau untuk merumuskan
jati diri masyarakat Minangkabau sebagai
masyarakat yang beradat dan beragama.
2. Adanya diktum
karamat konsensus ABS – SBK ini merupakan landasan dan motivasi untuk melakukan
perubahan masyarakat dan sekaligus sebagai standar dalam menentukan keabsahan
setiap perubahan masyarakat.
3. Dalam menanggulangi
dampak negatif dari globalisasi, seperti liberalisme, sekularisme,
materialisme, hedonisme, individualisme
maka diktum keramat ini harus dihayati dan diamalkan oleh masyarakat
Minangkabau.
4.
Dengan diundangkannya Otonomi Daerah (UU No. 22 tahun
1999 tentang Otonomi Daerah diganti dengan
UU No. 32/ 2004 plus UU No. 08/2005 Sumatera Barat mengimplementasikan
otonomi daerah itu dengan sistim kembali ke nagari berbasis surau dilandasi
Perda No. 9/ 2000 dan direvisi dengan Perda
No. 02/ 2007), maka dimungkinkan
adanya otonomi dalam berbagai bidang. Otonomi
dalam bidang politik, otonomi dalam bidang ekonomi, otonomi dalam bidang budaya
dan kultural. Pemulihan posisi pada tempat yang proporsional konsensus falsafah
ABS – SBK, kita pandang sebagai
bagian dari otonomi dalam bidang
sosio-kultural.
5.
Dalam era globalisasi di mana
masyarakat cenderung berfikir global, maka masyarakat perlu memiliki identitas
atau jadi diri. Dengan penerapan diktum karamat konsensus traktat Marapalam ini
maka masyarakat Minangkabau tidak akan tercabut dari budayanya, karena ABS –
SBK sudah cukup kuat sebagai filter dan daya tangkal terhadap pengaruh negatif.
6.
Kemajuan dan kemunduran yang
kita hadapi sekarang dalam bidang sosial budaya telah didominasi barat, maka
masyarakat Minangkabau perlu mencari filternya. Falsafah Adat basandi syara’-syara’
basandi kitabullah” merupakan filter yang sangat relevan dalam
menghilangkan dampak negatif budaya barat.
Daftar Pustaka
Abdullah, Taufik, Some Note on Kaba Cinduamato (ed) Cornell Modern in Indonesia Report, 1972.
al-Rasuli,
Syeikh Sulaiman, Pertalian Adat dan Syara’, Alih Tulis Hamdan Izmy. Padang:
IAIN-IB Press.
Gazalba,
Sidi, Konflik Antara Adat Agama dan
Pengaruh Barat, Seminar Islam di Minangkabau, Padang, 1960.
Hamka, Sejarah Umat
Islam IV, Jakarta : Bulan Bintang, 1976.
Idrus Hakimy. Dt. Rajo Panghulu, Pokok-Pokok Pengetahuan Adat Alam Minangkabau, Bandung :
Remaja Rosyda Karya, 1994.
Naim, Mochtar, Konflik
dan Penyesuaian antara Adat dan Syara’
di Minangkabau, makalah disampaikan pada Seminar Reaktualisasi ABS-SBK,
ICMI Orwil Sumatera Barat, di Bukittinggi, tanggal 22-23 Januari 2000.
Ramayulis, dkk. Pemahaman
Ninik Mamak Pemangku Adat Minangkabau Terhada Nilai-Nilai ABS-SBK” Padang : IAIN Imam Bonjol Press, 2009.
Ramayulis, Sejarah Pendidikan dan Kebudayaan Islam, Padang :
Zaki Press, 2010.
Sjafnir, Dt. Kando Marajo, Sirih Pinang Adat
Minangkabau, Pengetahuan Adat Minangkabai Tematis, Padang: Sentra Budaya dan Pemrov Sumbar, 2006.
Syarifudin,
Amir, Pelaksanaan Hukum Kewarisan Islam dalam Lingkungan Adat
Minangkabau, Jakarta : Gunung Agung, 1984.
YY Dt.Rajo Bagindo, Hakekat
Kembali ke Surau Basis Nagari (Belajar dari Pengalaman Sejarah Sosial
Pendidikan Surau di Luak Limo Puluh Koto (Makalah), Sarilamak:
Pemkab 50 Kota, 2010.
Endnotes :
*Prof. Dr. Ramayulis,
guru besar ilmu pendidikan di Fakultas Tarbiyah IAIN Imam Bonjol dan PPs. IAIN
Imam Bonjol. Tulisan dipersiapkan untuk presentasi Annual Conference on
Islamic Studies (ACIS) ke-10 menampilkan kembali Islam Nusantara, di
Banjarmasis, Kalsel, November 2010
[1]Sjafnir, Dt. Kando
Marajo, Sirih Pinang Adat Minangkabau, Pengetahuan Adat Minangkabai Tematis,
Padang: Sentra Budaya dan Pemrov
Sumbar, 2006, h. 10
2Idrus Hakimy. Dt. Rajo Panghulu, Pokok-Pokok
Pengetahuan Adat Alam Minangkabau, Bandung : Remaja Rosyda Karya, 1994, h. 16
3Hamka, Sejarah Umat
Islam IV, Jakarta : Bulan Bintang, 1976, h. 79
4Ramayulis, dkk. Pemahaman Ninik Mamak
Pemangku Adat Minangkabau Terhada Nilai-Nilai ABS-SBK” Padang : IAIN Imam Bonjol Press, 2009, h. 17
5Idrus
Hakimi. Dt. Rajo Panghulu, op cit, h.
18
6Ibid
7Ibid, h. 20
8Amir
Syarifudin, Pelaksanaan Hukum Kewarisan Islam dalam Lingkungan Adat
Minangkabau, Jakarta : Gunung Agung, 1984, h. 135
9Ibid, h. 136
10Ramayulis,
Sejarah
Pendidikan dan Kebudayaan Islam, Padang : Zaki Press, 2010, h. 67
11Amir
Syarifudin, op cit, h. 137
12Dalam
kaidah hukum Islam disebutkan : al ‘adah
muhkamah
13Syeikh
Sulaiman al-Rasuli, Pertalian Adat dan Syara’, Alih Tulis Hamdan Izmy. Padang: IAIN-IB Press, h.23
14Taufik Abdullah, Some Note on Kaba Cinduamato (ed) Cornell Modern in Indonesia Report, 1972,
h. 12
15YY Dt.Rajo Bagindo, Hakekat
Kembali ke Surau Basis Nagari (Belajar dari Pengalaman Sejarah Sosial Pendidikan
Surau di Luak Limo Puluh Koto (Makalah), Sarilamak: Pemkab 50 Kota, 2010, h. 5
16di Gazalba, Konflik Antara Adat Agama dan Pengaruh Barat,
Seminar Islam di Minangkabau, Padang, 1960, h. 3
17Amir
Syarifudin, op cit, h. 141
18Mochtar
Naim, Konflik dan Penyesuaian antara
Adat dan Syara’ di Minangkabau, makalah
disampaikan pada Seminar Reaktualisasi ABS-SBK, ICMI Orwil Sumatera Barat, di
Bukittinggi, tanggal 22-23 Januari 2000, h. 9
19Ibid, h.
10
20Ibid.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar