Jurnal Terakreditasi SK Dikti N0.83/DIKTI/Kep/2009
NU Dalam Bingkai Masyarakat Banjar
Arah Pergerakan Islam Kultural dan Islam Non
Kultural di Kalimantan Selatan
Oleh. H.A.Sukris Sarmadi *
Abstract
Pengaruh NU (Nahdatul Ulama) di kalangan
masyarakat Banjar (Kalimantan Selatan), secara historis berakar dari ulama
terkemuka Syekh Arsyad Al Banjari. Pikiran-pikiran Ulama lagendaris ini
sejalan dengan NU. Ia mengakar dalam masyarakat Banjar. Hal ini berkaitan
dengan kenyataan NU adaptif dengan masyarakat local, memungkinkan
tradisi-tradisi Banjar dapat bertahan lama dan terjadi akulturasi yang luar
biasa. Namun sejalan dengan perubahan zaman, telah terjadi perubahan-perubahan
social yang berpengaruh pada keberagamaan orang-orang Banjar sekarang.
A.
Pendahuluan
Agama Islam merupakan
agama mayoritas bagi masyarakat Kalimantan Selatan dengan didominasi suku
Banjar berjumlah 2.271.586 Jiwa dari total penduduk Kal-Sel tahun 2000 :
2.975.440 jiwa (Badan Pusat Statistik - Sensus Penduduk Tahun 2000). Sisanya
adalah penduduk pendatang yaitu suku Jawa, Bugis, Madura, Dayak, Mandar,
Bakumpai dan lainnya. Kedekatan masyarakat Banjar dengan agama Islam telah lama
terjadi di mulai dengan berdirinya Kesultanan Banjar meliputi DAS Barito
bagian hilir, DAS Bahan (Negara), DAS Martapura dan DAS Tabanio. Islam masuk di
Kal-Sel terjadi pada suku Banjar di mulai dengan masuk Islamnya Raja Banjar
Pangeran Samudera bergelar Sultan Suriansyah (24 September 1526/6 Zulhijjah 932 H). Selanjutnya keturunan kerajaan / kesultanan Banjar dan masyarakat Banjar
hingga sekarang beragama Islam. Agama Islam telah lama menjadi ciri masyarakat
Banjar dan Islam menjadi agama mayoritas di mana 98 % pendudukanya beragama
Islam.[1]
Masyarkat Banjar kini[2]
seperti halnya pada umumnya disemua daerah di Indonesia telah mengalami suatu
pergeseran kehidupan sosial. Sebagian adat yang berlaku mulai hilang seiring
dengan kemajuan zaman. Banyaknya pendatang dan perkawinan campuran antar daerah
lain yang berada di Banjarmasin merupakan salah satu sebab terjadinya perubahan
sosial dan nilai-nilai adat dalam masyarakat. Meskipun, studi terhadap
masyarakat adat Banjar masih merupakan studi yang penting untuk dikaji lebih
jauh. Terkhusus pula tentang hubungannya dengan pengaruh Islam di daerah ini.
Banyaknya pondok pasantren di Kal-Sel
merupakan bukti kuatnya akar dan pengaruh Islam di daerah ini. Tercatat ada 241
buah ponpes, 90 persen bersifat sudah modern[3]
dan hampir kesemuanya adalah berlatar belakang NU.[4]
Pimpinan pondok pasantren di Kal-Sel punya sebutan KH (Kiyai Haji) seperti
halnya pinpinan pondok pasantren di Jawa. Gerakan Ikatan Perkumpulan Pondok
Pesantren Nahdatul Ulama adalah salah satu bukti kuat hubungan antar pasantren
di Kal-Sel dan perwujudan pengakuan keteguhan gerakan NU. Kajian atas
pergeseran gerakan dan perspektif masyarakat Banjar terhadap kiyai NU yang kini
mulai tampak dirasakan di Kal-Sel sangat penting dikaji. Tentu saja akan
terlihat prilaku keagamaan baru dalam bentukan kultural baru pula. Meskipun
secara substansif ketaatan pada seorang tokoh agama (kiyai=tuan guru) tidak
berubah namun perspektifnya mulai berubah seiring dengan kondisi dan perubahan
sosial yang terjadi dewasa ini. Untuk itu tulisan ini berupaya mengamati
perubahan atau pergeserakan pola gerakan keagamaan dalam konteks keumatan yang
terjadi di kal-sel sebagai gerakan keagamaan yang tergerak sendiri karena
datangnya nilai-nilai sosial baru.
B.
Kiyai NU dan Keumatan : Gerakan Keagamaan Sentris
Menuju Objektivitas
NU merupakan
wadah keyakinan keberagamaan umumnya masyarakat Banjar. Meskipun sebagian kecil
yang lain beraliran kemuhamadiyahan. Namun bisa dikatakan, mayoritas muslim di
sini mengabadikan diri mereka dalam pengakuan dan fanatisme tinggi sebagai
warga NU. Mereka lebih sering menyebut diri sebagai pengikut kaum Tuha. Istilah
terakhir ini sebenarnya tidak ada hubungannya dengan gerakan padri di Sumatera.
Namun di tahun 70-an sampai 80-an situasi pernah memanas terutama di daerah
Hulu Sungai Utara di mana terjadi pengelompokan fanatisme kelompok yang cukup
tajam antara kaum Tuha (tua) dan kaum Muda. Dan seterusnya berpengaruh
keseluruh masyarakat Kal-Sel. Tidak diketahui, siapakah yang mula-mula menyebut
istilah ini. Sebutan kaum Tuha adalah berbasis NU sedangkan kaum muda tidak
lain adalah Muhamadiyah. Dan hampir saja, situasi memanas tersebut terjadi
kekerasan antar kelompok (meskipun beberapa data ditemukan atas laporan dari
orang-orang tua bahwa waktu itu sempat terjadi kekerasan antara mereka).
Namun, fanatisme
terhadap NU bagi warga Nahdiyin suku Banjar kesemuanya didasarkan kepada
ketaatan pada kiyai atau tuan guru (biasa bercirikan memakai sorban bolang
putih). Sang kiyai ini biasanya adalah pimpinan Ponpes masing-masing daerah
(banua) yang selalu mengindetitaskan diri sebagai orang NU. Paling tidak yang
sangat berkesan terjadi antara tahun 70-an hingga 80-an. Hingga kini kultur
demikian masih tampak di mana fanatisme sebagai warga Nahdiyin tetap
terpelihara. Meskipun telah mulai terjadi pergeseran perspektif tentang kiyai
(tuan guru). Kiyai dianggap segalanya dalam kehidupan beragama, menentukan hukum-hukum
dan amaliyah kehidupan warga. Dari soal kelahiran anak, pendidikan, rumah
tangga, ekonomi keluarga dan usaha-bisnis, zakat, infaq, sadaqah hingga
kematian, Kiyai sangat berperan dalam masyarakat di Kal-Sel. Kiyai atau tuan guru (Banjar) menjadi ego
sentris dalam kehidupan beragama.
Kiyai NU sangat
akrab dengan ranah tradisi lokal. Pengislaman tradisi (budaya) lokal menjadi
tradisi kultural NU merupakan fenomena sentris dari para kiyai NU di daerah
ini. Terlebih dikarenakan masyarakat Banjar merupakan masyarakat yang memiliki
sejarah kental atas budaya keraton-kerajaan Banjar yang banyak memiliki aspek
budaya tempatan yang lekat dengan kehidupan masyarakat. Dalam konteks budaya
ada istilah budaya keraton;kerajaan dan budaya populer. Dua kebudayaan ini
sering dikategorikan dengan kebudayaan tradisional.[5] Maka pada aspek ini kiyai dalam tradisi
kultural masyarakat Banjar dijadikan bukan hanya sebagai pemuka agama tetapi
juga sebagai pemimpin kemanyarakatan. Bahkan melebihi dari seorang pemuka adat.
Keadaan ini lebih dikenal betapa pengaruh tradisi NU pada upacara sosial budaya
populer. misalnya Tradisi adat batapung tawar tetap dilestarikan tetapi
diiringi dengan doa-doa dipimpin oleh pemuka agama. Tradisi ini merupakan
tradisi dalam rangka penyelamatan terhadap suatu keadaan yang dihajatkan
misalnya membuka rumah baru, kendaraan, peresmian, ketika acara akikah anak dan
perkawinan. Budaya lokal tentang bamandi-mandi (calon pengantin) dengan
berbagai penyertaan doa-doa keagamaan. Selamatan hamil 7 bulan, menginjak
telur. Selamatan hendak naik haji. Selamatan keliling kampung dengan mengarak
kitab Shahih Bukhari sambil berdoa agar terhindar musibah (biasanya dari
kebakaran).
Dalam konsep
lain, tradisi NU juga masuk dari ritual-ritual pada budaya sehingga mengubahnya
menjadi simbolik keIslaman tradisional misalnya acara haul kematian, pembacaan
doa arwah setelah tiga hari kematian, kemudian 7 hari kematian, 25 hari
kematian dan 100 hari kematian hingga haul (tahunan) merupakan tradisi lokal
yang diislamkan dengan tradisi doa-doa.
Demikian
pula pola-pola mistik lokal diislamkan. Budaya ilmu-ilmu mistik telah dirombak dengan
penyertaan doa seperti zimat kayu diganti dengan ayatul Qur`an, budaya mandi
kekebalan dengan kembang, kue lakatan dengan mantra-mantra diganti dengan doa
dan ayat al Qur`an. Tradisi lokal menggunakan minyak-minyak hasil lampah
digunung diganti dengan rajah tubuh (tulisan arab). Bahkan ada tip keagamaan
untuk membuang semua yang dianggap ilmu hitam (biasanya mampu dihilangkan oleh
kiyai). Jadi kiyai dalam konteks ini selalu diyakini oleh masyarakat bukan
hanya ahli agama tetapi juga ahli ilmu-ilmu gaib. NU yang mentradisi ditangan
para kiyai sungguh sangat berhasil mengislamkan semua hal dalam tradisi lokal
masyarakat Banjar. Semua hal yang berawal dengan mantra sudah berganti dengan
kalimat seperti Bismillah, berkat Laa ilaaha illallah ataupun syahadatain.
Bahkan dari sekitar bacaan itu berkembang menjadi sumber-sumber keilmuan gaib
dan aneh di masyarakat misalnya kalimah berampun diambil dari kalimat Laa
Ilaaha Illallah.
Tradisi NU di
sini juga masuk dalam dunia seni. Perayaan maulid, untuk selamatan rumah maupun
acara lainnya biasanya dibawakan syair-syair maulid al Habsyi. Di era 90-an
maulid al Habsyi menjadi trend anak santri dan masyarakat kebanyakan. Padahal
sebelum syair ini, seperti ad Diba`i lebih dulu dikenal namun tidak sempat
menjadi kegemaran anak-anak santri di pasantren maupun di masyarakat. Syair al
Habsyi disertai dengan terbangan (alat tabur dari kulit sapi) menjadi acara
dominan terjadi dalam tradisi NU. Tradisi ini jelas di bawa tokoh keagamaan NU
dari luar. Namun pengawinan dengan seni lokal juga kerab terjadi seperti seni
Hadrah. Seni ini merupakan kombinasi seni tari dan seni perang serta seni arak
raja. Uniknya meskipun menggunakan gendang besar namun lagu yang dikumandangkan
adalah syair-syair yang ada dalam Diba maupun al Habsyi maupun salawat ciptaan
pemuka agama dulu.
Dengan tradisi
kultural NU maka pendapat-pendapat keagamaan yang bersifat baru dan terlihat
berbeda atau berlawanan dengan tradisi dan fatwa kiyai akan ditepis dengan
mudah. Isu gender, persamaan hak kaum perempuan dan lelaki, HAM, tidak
berpengaruh dalam keumatan masyarakat Banjar yang lebih tertarik dengan nasehat
kiyai sebagai tuan guru. Hingga sekarang kiyai menjadi panutan yang dominan dan
keadaan ini merupakan tradisi NU di Kal-Sel, meskipun ada perbedaan dengan era
tahun 70-an-hingga 80-an. Sebut saja bila seorang pejabat ingin disukai oleh
masyarakat maka cukup ia mendekati seorang kiyai yang banyak umatnya maka iapun
akan dicintai. keadaan tersebut membawa kiyai mulai mengarahkan pada haluan
politiknya. Kebetulan NU pusat sendiri mengibarkan haluan politiknya. Masa-masa
ini warga Nahdiyin di Kal-Sel tetap
memiliki semangat mengikuti kehendak kiyai. Termasuk dalam haluan politik.
Sebut saja jika seorang kiyai menunjuk suatu partai (tahun 80-an hingga 90-an)
di mana kebanyakan kiyai NU Kal-Sel mulai mengarahkan haluan politiknya pada P3
yang berlambang ka`bah maka hampir semua warga nahdiyin Kal-Sel memilih P3. ini
membuktikan bahwa kiyai dan kehidupan pasantren pada waktu itu benar-benar
sangat berpengaruh dalam kehidupan masyarakat Banjar.
Kini, kondisi
tersebut tidak lagi terjadi, atau sejak tahun 90-an. Mulai terjadi tarik
menarik cara pandang yang berbeda. sebut saja ada seorang kiyai ikut pada suatu
partai yang bukan P3 maka umat pengajiannya drastis berkurang hingga 75%
seperti yang pernah terjadi di kota Banjarmasin dan Martapura hingga menjadi
trend di semua benua daerah Kal-Sel. Para kiyai sendiri ternyata mulai
menyadari keadaan tersebut. Pengaruh globalisasi dan siaran TV sudah mulai
masuk kesegenap penjuru Kal-Sel. Terlebih ketika masuknya TV swasta di Kal-Sel.
Masyarakat mulai bersinggungan secara global pada dunia luar. Isu-isu demokrasi,
keterbukaan, kebebasan berpendapat yang digiring televisi memiliki dampak besar
di daerah ini. Perubahan drastis terjadi bahkan menjadi baikot masa terhadap
seorang kiyai yang mengikuti politik praktis. Sang tuan guru; kiyai dianggap
harus tidak memiliki kepentingan politik terhadap partai manapun. Dengan kata
lain, corak dominan pergeseran perspektif masyarakat keagamaan mulai tampak
terlihat jelas ditandai dengan tidak inginnya kebanyakan warga melihat kiyai
mereka terjun ke politik praktis. Mereka sekarang ini juga mulai membicarakan
tingkah laku seorang kiyai (tuan guru) jika berbuat sesuatu yang tabu (misalnya
soal poligami kiyai) maupun atas pendapat kiyai tentang suatu hukum,
perkembangan politik maupun kepengurusan Mesjid-Mesjid besar yang berhubungan
dengan Pemerintah Daerah. Semua ini dulu di tahun 70-an hingga 80-an merupakan
soal yang tabu diungkapkan antar warga. Keadaan ini disadari oleh banyak kiayi;
tuan guru NU. Tahun 90-an seorang tuan guru besar (kiyai)[6]
dengan murid berjumlah puluhan ribu orang dalam pengajiannya mengatakan bahwa
ia tak mengikuti partai politik apapun. Kiyai seperti ini menjadi panutan besar
bagi warga NU masyarakat Banjar, sebab lebih dianggap santun dan sesuai dengan
kehendak umat.
Dengan demikian,
meskipun tuan guru; kiyai NU masih dominan ditaati sebagaimana pada tahun 70-an
hingga 80-an dalam segala hal urusan keagamaan bahkan di luar dari pada itu,
maka sejak tahun 90-an hingga sekarang pola ketaatan mulai berubah. Terjadi
pergeseran kepercayaan menenpatkan tokoh agama; kiyai sebagai ulama. Dalam hal
politik, warga NU sekarang menganggap bukan bidang kiyai. Tugas seorang kiyai
adalah semata keagamaan, pembimbing umat. Kenyataan ini hingga sekarang masih
tampak terlihat. Misalnya sejak tahun 1999 hingga 2009 sekarang, suara PKB di
daerah ini tidak besar (walaupun PKB sempat meraih No.2 setelah Jatim) tetapi
jauh dari seharusnya terlebih di daerah ini ada banyak tokoh agama; kiyai NU
ikut di dalamnya, tidaklah diikuti oleh warga nahdiyin di Kal-Sel. Mereka
memilih sendiri haluan politik praktis mereka. Jadi NU murni dipahami
masyarakat Banjar sebagai organisasi sosial keagamaan bukan politis. Artinya upaya
untuk menciptakan NU secara de jure memainkan sebagai organisasi sosial
keagamaan, dan secara de facto NU bermain politik praktis lewat PKB, sebagai partai
yang mendapat fasilitas dan dilahirkan oleh NU tidak adaptif dalam masyarakat
Banjar meskipun diterima oleh sebagian kecil warga masyarakat Nahdiyin di
daerah ini.
Isu gender tidak
begitu berpengaruh hingga sekarang di daerah ini. Dominasi pola fanatisme pada
tokoh agama sangat kuat. Tokoh agama setempat jika ditanya tentang masalah ini
terlihat tidak setuju. Demikian pula soal penentangan pada poligami. Ini
membuktikan bahwa di daerah ini masih menunjukkan pola kultural terjadi dominan
di masyarakat, meskipun kaum perempuannya kebanyakan menolak di poligami namun
secara diam-diam diakui sebagai ajaran agama. Hal ini tidak lepas dari pendapat
yang berkembang di kalangan para tokoh agama; kiyai. Beberapa kasus seorang
kiyai yang berpoligami sempat menjadi pembicaraan secara sembunyi-sembunyi
namun tak sempat menjadi isu negatif terhadap keadaan sang kiyai. Ketaatan pada
sang kiyai lebih fundamen ketimbang masalah poligami.
C. Munculnya Santri Modern ; Pergumulan
Pemikiran Tokoh Keagamaan
Masuk dan berdirinya IAIN Antasari di
Kal-Sel pada tahun 70-an sebenarnya cukup dominan berpengaruh pada para lulusan
di Perguruan Tinggi agama Islam ini. Tidak hanya warga umum yang memasukkan
anak mereka ke Perguruan agama Islam, tetapi juga anak-anak kiyai NU sendiri. Setelah
mereka menamatkan kesantrian mereka di pondok pasantren, biasanya para
lulusannya digiring untuk masuk IAIN. Maklum pula, pengajarnya sendiri di era
tahun 70-an adalah kebanyakan kaum Tuha (tua) yang memiliki basis masa di
masyarakat dan sebagian lainnya merupakan alumni Cairo dan IAIN di tanah Jawa.
Alhasil IAIN di tahun-tahun berikutnya menjadi sentral kajian keagamaan modern
di Kal-Sel.. Maka di atas tahun 80-an sudah mulai banyak kelulusan IAIN. Bisa
dikatakan lulusan ini ketika menjadi tokoh agama sebenarnya lebih layak disebut
sebagai kiyai atau ulama modern. Sebutan ulama sebenarnya sangat luas dan
komplek. Namun pada dasarnya mereka adalah pendidik. Mulai menjalankan
peranannya sebagai pendidik, seorang ulama bisa berkembang menjadi pemimpin
masyarakat, tokoh politik atau ilmuwan.[7] Sebutan kiyai, tuan guru adalah menunjuk pada
kemampuan pendidikan keagamaan bagi umat dan dalam konteks inilah maksud kita
dalam tulisan ini.
Sebagian mereka ada yang menjadi tokoh
tempatan, terutama yang telah lama nyantri di pasantren lalu meneruskannya ke
IAIN. Haluan berpikir mereka kembali pada pola tradionalistik NU, sebagian
seperti orang tua mereka yang juga kiyai. Sebagian lulusan IAIN yang lain menjadi
PNS dan bekerja di Depag setempat. Sebagian lagi menjadi tokoh agama setempat.
Bagian yang menarik dari mereka adalah ketika mereka menyuarakan pemikiran
keagamaan berbeda pendapat dengan tradisi kiyai. Disadari atau tidak mulai
terjadi pergumulan pemikiran baru terhadap agama. Meskipun kelompok ini
jumlahnya sangatlah sedikit namun mereka didukung oleh sedikit lulusan Cairo,
terkadang sebagian orang Muhammadiyah. Pergumulan pemikiran tersebut keadaannya
hingga kini terus berlanjut. Tokoh agama yang lulusan IAIN biasanya tidak
menggunakan ciri khas sorban bolang putih. Mereka lebih suka memaki peci
nasional sedang sorban hanya digantungkan di leher. Berbeda dengan tradisi lama
sebagai tokoh agama adalah memakai sorban-bolang di kepala ketika mereka terjun
ke Masyarakat (ceramah agama, khutbah maupun acara keagamaan lainnya). Di
samping itu ada gelar seperti Drs, S.Ag, sebagai ciri khas mereka. Keberpihakan
agar warga masyarakat; suku Banjar untuk tidak taklid pada seseorang atau
terhadap madzhab hukum agama adalah elan dasar dari gerakan pemikiran ini.
Meskipun mereka tidak mengelompok dalam satu wadah gerakan namun pola pemikiran
mereka ada kemiripan yang sama antar mereka dalam mempengaruhi masyarakat
setempat. Hanya keberadaan mereka lebih banyak di kota besar Banjarmasin.
Sangat minim di daerah banua lima. Di bawah ini dapat digenalisir pemikiran
mereka yang mencirikan dan pola pembaruan dalam masyarakat Nahdiyin Kal-Sel,
sbb :
1.
Tidak harus bertaklid pada satu madzhab tertentu;
2.
Menutamakan bahan ceramah al Qur`an dan Hadis ketimbang kitab-kitab kuning;
3.
Menanggapi atas isu keagamaan yang terjadi di masyarakat;
4.
Memberikan syarat yang ketat pada Poligami;
5.
Cendrung menolak tasawuf falsafi;
6.
Meniadakan Tawasul pada wali-wali dalam berdoa.
7.
Meninggalkan tradisi pembacaan manakib syekh Abdul Kadir Jailani dan syekh
Seman.
8.
Kurang akomadatif dengan kultur lokal / adat yang selama ini dipelihara
oleh kaum Tua;
9.
Meninggalkan syair-syair spritual yang ada dalam masyarakat;
10.
Menolak segala bentuk pemahaman keagamaan liberalisme dan sekuler.
11.
Pengembangan ketaatan beragama yang lebih baik sebagai penyeimbang dengan
urusan duniawi yang tidak boleh ditinggalkan.
Pola pemikiran di atas jauh berbeda dengan
konteks kelompok muda NU ataupun kaum muda NU Profresif yang akhir-akhir ini
mengemuka dalam tulisan Lauda Ida (NU Muda; Kaum Progresif Dan Sekularisme Baru)
Sebab ciri mereka justru menolak paham keagamaan yang liberal maupun pengarahan
pada paham sekuler. Meskipun gerakan pemikiran keagamaan tersebut tidak
mengelompok pada suatu tempat dan jadual tertentu, ataupun dipimpin oleh
seseorng namun mereka sepakat menolak segala liberalisme keagamaan, misalnya terhadap
pemikiran liberalisme (Hartono Ahmad Jaiz, 2005: 109-110 dalam Atho' Mudzhar):
1.
Al-Quran adalah teks dan harus dikaji dengan hermeneutika
2.
Kitab-kitab tafsir klasik itu tidak diperlukan lagi
3.
Poligami harus dilarang
4.
Mahar dalam perkawinan boleh dibayar oleh suami atau isteri.
5.
Masa iddah juga harus dikenakan kepada laki-laki, baik cerai hidup ataupun
cerai mati
6.
Pernikahan untuk jangka waktu tertentu boleh hukumnya
7.
Perkawinan dengan orang yang berbeda agama dibolehkan kepada laki-laki atau
perempuan muslim
8.
Bagian warisan untuk anak laki-laki dan anak perempuan sama 1:1
9.
Anak di luar nikah yang diketahui secara pasti ayah biologisnya tetap mendapatkan
hak warisan dari ayahnya.
Tokoh-tokoh keagamaan alumni IAIN tersebut
sebenarnya lebih bercorak pada intelektual keagamaan dan kebanyakan mereka
bersifat indefendent, tidak mengkulturkan fanatisme pada Nahdatul Ulama ataupun
berpihak pada tradisi kultural NU sekalipun terkadang orang tua mereka justru
tokoh NU. Pola penerimaan masyarakat Kal-Sel terhadap mereka dikarenakan
beberapa sebab, sbb :
1.
Agresif untuk dipanggil mengisi acara keagamaan seperti ceramah pada
hari-hari besar Islam, acara non resmi perusahan-instansi; selamatan berisi
ceramah agama, aqiqah, selamatan haji.
2.
Komunikatif, dianggap lebih mengerti dengan perasaan masyarakat dan sering
dapat menghibur dengan bahasa yang kocak.
3.
Akomodatif, tanpa ada birokrasi bahkan bisa hanya melewati telpon dalam hal
memanggil untuk mengisi acara keagamaan.
4.
Berani menyinggung kesalahan pejabat; pemerintah maupun pengusaha.
5.
Mudah didekati oleh setiap orang dan cepat akrab.
6.
Mudah dinalar dan dipahami oleh semua kalangan dari masyarakat awam maupun
yang terdidik.
7.
Adanya perubahan sosial global yang mempengaruh cara berpikir kebanyakan
orang termasuk masyarakat kal-sel ke arah rasionalisme.
Keberadaan mereka sering pula mengusik
tokoh keagamaan senior di Kal-Sel sehingga di antara mereka ada yang
menyinggung dalam ceramahnya untuk tidak mendengarkan ataupun mengikuti
orang-orang yang memiliki gelar kesarjanaan (Drs, S.Ag). isu negatif terhadap
kelompok ini tidak direspon balik terhadapnya mengakibatkan hubungan yang
kurang harmonis antar mereka tanpa ada counter. Bahkan IAIN sendiri dikritik
yang sekarang lebih banyak menelurkan orang-orang yang tidak dapat merapat
dengan tradisionalisme NU.
Meskipun demikian masyarakat Kal-Sel
menyikapinya dengan beragam pendapat namun dalam banyak kesempatan mereka tetap
diterima. Hal ini juga didukung oleh faktor banyaknya pertemuan keagamaan yang
harus di isi oleh nara sumber/tokoh keagamaan, sementara tokoh keagamaan senior
atau kaum Tua jumlahnya sedikit dan padat waktu, birokratif dan sering
dikeluhkan ongkos biaya yang mahal. Santri modern ataupun istilah kiyai modern
atau ustadz modern, selalu tidak menyentuhkan diri mereka pada politik praktis
ataupun atas suatu kepentingan politik yang berkembang di daerah mereka.
Barangkali rasa kebertakutan terhadap dan mungkin akan dijauhi oleh umat adalah
alasan utama kelompok ini. Sebab di Kal-Sel kasus seperti demikian telah
beberapa kali terjadi dan sempat menjadi isu yang mengemuka untuk sekian waktu.
Peristiwa itu menjadi pelajaran bagi pelaku dakwah di wilayah ini.
D.Kaum Muda Islam ; Keberpihakan Pada
Islam Non Kultural
Selama masa pesat berkembangnya NU di
Kal-Sel, sebelum dan sesudah tahun 70-an hingga 90-an, bisa dikatakan keIslaman
seseorang di daerah ini didasarkan pada aspek kultural kaum nahdiyin yang
berperan memberikan nilai positip dalam dakwah Islamiyah. Dengan kata lain,
hampir sulit membedakan antara istilah Islam dan NU. Seperti halnya masyarakat
kultural Madura dan Jatim. Maksudnya, Islam dan NU tidak dapat dipisahkan dari
pikiran orang yang beragama (Islam). Hampir di seluruh banua lima, tokoh
sentral keagamaan selalu orang NU. Tokoh NU sangat disegani (hingga sekarang
sebagian hal ini masih tampak pada tokoh NU). Tokoh NU pastilah ulama dan
kebanyakan mereka adalah pimpinan pondok pasantren atau hidup dalam dunia
pasantren dan masyarakat luas. Mereka besar diakar rumput seperti halnya NU
dalam masyarakat suku Banjar. Di sini terlihat betapa besar dan berpengaruhnya
NU dalam masyarakat sebagai organisasi yang bergerak dengan semangat harakatul
diniyah (gerakan keagamaan), harakatul adabiyah (gerakan moral) maupun sebagai
organisasi besar; harakatul ijtimaiyyah (gerakan keorganisasian), dengan paham
ahlus sunnah wal jamaah.
Untuk menjadi orang besar dan disegani
serta diikuti oleh masyarakat muslim maka orang tersebut haruslah beraliran NU.
Saat itu sulit orang yang berhaluan di luar NU untuk dapat menjadi kiyai di
masyarakat. Hingga sekarangnya kenyataan tersebut masih dirasakan. Dengan kata
lain saat itu, setiap ulama pastilah NU dan untuk mencari Islam yang kuat pastilah
NU. Realitas ini bukan berarti menapikan gerakan Muhammadiyah yang juga
berkembang di Kal-Sel serta urbanisasi masyarakat luar di Kal-Sel. Namun bahasan ini menunjuk pada strategi
ril pada dimensi waktu dan keadaan tertentu. NU hampir dikata seperti agama atau identik dengan
Islam. Perlawanan terhadapnya akan memungkinkan terjadi kekerasan antar
kelompok. Sebagai ilustrasi, di tahun 90-an seorang ustadz yang sedikit berbeda
dengan pendapat masyarakat; ketika di jalan menemui kecelakaan. Kendaraan beliau
bertabrakan dengan kendaraan lain yang juga ditumpangi oleh seseorang. Kaca
mata beliau pecah. Tetapi orang tersebut tidak merasa kasihan dengan beliau.
Alasannya karena beliau bukan berhaluan NU.
Selama zaman kerajaan Banjar Islam, tokoh
Panutan masyarakat Kal-Sel adalah Syekh besar Muhammad Arsyad al Banjari
(pengarang kitab Sabilal Muhtadin). Selama ratusan tahun keturunan beliau
menjadi agent sentral kekuatan dakwah di masyarakat Banjar. Hingga sekarang,
keturunannya menjadi tokoh keagamaan yang dihormati. Dan kebetulan, tokoh
keagamaan keturunan beliau adalah orang-orang NU. Meskipun tidak harus menjadi
pengurus NU di daerah namun mereka menjadi tokoh sentral NU. Pendapat mereka
menjadi nasehat jajaran pengurus NU di semua daerah. Martapura adalah daerah
hidup keturunan syekh besar hingga sekarang. Kota ini disebut sebagai kota
serambi Mekkah karena bertaburnya ulama. Daerah ini sangat berpengaruh. Hidup
dari masa ke masa ulama besar Kal-Sel di sini. Pasantren Darus Salam adalah
salah satu aset kader keulamaan di tempat ini. Di antara mereka tokoh yang
berpengaruh adalah KH. Badaruddin (w.1992) dan KH. Zaini Mugni (w.2005), guru dan murid ini secara
luar biasa memiliki murid berjumlah puluhan ribu banyaknya.
Pengaruh globalisasi modern terhadap dunia
ketiga khususnya Indonesia dan tak terhindarkan pula masyarakat muslim kal-sel
telah mengubah sosial kultur masyarakat. Kehidupan modern mulai menggoyang dan
mengikis ciri-ciri hidup ``paguyuban``. Cara hidup dan kerja masyarakat dalam
mengejar ekonomi telah berbeda dan semakin terus berubah. Tuntutan hidup mulai
dirasakan ke seluruh daerah. Saat itu menurut Dawam Rahardjo adalah hambarnya
nilai-nilai transendental. Seperti
halnya masyarakat di semua daerah di Indonesia, masyarakat kal-sel juga
merasakan pengaruh modernisasi. Misalnya upaya penyesuaian diri dan adaptasi
terhadap proses modernisas. Sebagian melakukan apologi terhadap ajaran Islam
dan menolak modernisasi yang bernilai westernisasi. Sebagian menolak secara
formal namun mereka menerima nilai-nilai itu seperti praktek kapitalisme atau
konsumerisme. (Dawam; 1993:382). Setiap anak mulai dituntut untuk sekolah
setinggi mungkin dengan tujuan untuk mendapatkan pekerjaan. Hampir dalam semua
hal, haluan pikiran orang tertumpu pada aspek ekonomi. Globalisasi juga
menggelindingkan sekularisme penciptaan dengan anaknya yang bernama liberalisme
dan kapitalisme. Liberalisme adalah ajaran yang sesat yang harus ditentang.
Liberalisme mengakibatkan individualisme dan individualisme mengakibatkan
kapitalisme. Maka dalam kapitalisme ini, prinsip kemerdekaan dinodai sedemikian
rupa (Nurkholis Madjid; 1994:188).
Tradisi kultural NU di daerah ini meskipun
cukup kuat untuk mereduksi perubahan sosial-ekonomi masyarakat, kerapkali pula
gagal melawan arus deras modernisasi yang memberi dampak pada sifat
individualisme ekonomi, sosial dan politik. Sebagai contoh adalah banyaknya
sekolah-sekolah umum negeri yang di buka oleh pemerintah di wilayah kal-sel
sampai ke pelosok pedesaan-kampung-kampung justru diminati oleh masyarakat suku
Banjar. Padahal pasantren di wilayah ini begitu banyak yaitu mencapai lebih
dari 241 buah (B.Post, kamis,8/12). Anak negeri ini mulai menyekolahkan anak
mereka di lembaga-lembaga negeri dengan tujuan pencapaian pekerjaan yang layak
seiring dengan realitas pekerjaan modern memerlukan ijazah formil. Meskipun
data langsung di lapangan jumlah murid di pasantren tidak berkurang namun
penambahan jumlah pasantren mulai berkurang dibanding era 70-an hingga 80-an.
Cara pandang dan perubahan atas ekonomi masyarakat telah membawa perubahan
sosial kultural baru.
Tradisi kultural NU dalam masyarakat
Banjar seperti kemampuan dan kepandaian anak membaca kitab kuning sekarang
mulai dirasakan langka. Bahkan kemampuan bisa membaca al Qur`an yang dulu
dipastikan ciri khas masyarakat Banjar mulai sulit dipertahankan. Tahun 70-an,
seorang pria yang ingin melamar seorang perempuan harus menamatkan dulu al
Qur`an (khatam al Qur`an). Demikian pula bagi kaum perempuannya sebelum mereka
melangsungkan pernikahan. Keadaan ini mulai ditinggalkan dikarenakan kemampuan
tersebut tidak mereka dapatkan di bangku sekolah negeri pemerintah. Tradisi
khatam al Qur`an pada masyarakat suku Banjar pada umur 7 sampai dengan 10 tahun
juga sulit ditemukan yang dulu setiap kampung melakukan acara masal khataman al
Qur`an. Meskiipun tradisi membaca wirid selesai solat Magrib dan subuh secara
bersama-sama di mesjid masih terdengar dan terpelihara namun yang mengisi acara
tersebut pada umumnya adalah orang-orang tua, bukan anak muda. Terkecuali daerah
tertentu seperti Martapura.
Keadaan demikian dirasakan oleh pemuka dan
tokoh keagamaan Kal-Sel, baik dalam kalangan senior NU maupun para Da`i dari
berbagai kalangan; lulusan IAIN maupun organisasi Islam yang ada di Kal-Sel.
Tahun 2000 merupakan tahun kritik bagi Kaum muda Islam dan mereka selalu
menjadi objek sorotan. Tahun-tahun ini kegairahan anak muda Islam mulai
terlihat pada kegiatan keagamaan. Di Kampus-kampus mulai tumbuh pengajian.
Demikian pula kesadaran para guru sekolah negeri untuk memasukkan pelajaran
agama sebagai pelajaran lokal mulai dilakukan. Anak-anak muda Islam mulai gemar
membaca al Qur`an. Pada bulan ramadhan, aktivitas anak SD hingga SMA memadati
mesjid dalam kegiatan tadarus dan ceramah keagamaan yang diisi oleh
ustadz-ustadz muda, terutama lulusan IAIN (terutama diperkotaan-Banjarmasin).
Demikian pula di Perguruan Tinggi Umum. Jilbab mulai tidak asing lagi bagi anak
muslimah. Bahkan di Perguruan Tinggi seperti kedokteran, keperawatan dan
kebidanan, jilbab sempat menjadi trend. Islam dipelajari dari berbagai kalangan
anak muda Islam. Ini tidak lepas dari dukungan orang tua di kal-sel yang
sekarang merasakan adanya perubahan kultural yang makin menjauh dari nilai
keagamaan.
Islam dipelajari oleh kaum muda Islam;
anak-anak terpelajar adalah Islam universal. Pembelajaran yang sifatnya
terserak-serak oleh para da`i muda (ustadz-kiyai modern) lebih cendrung pada
percepatan pemahaman dan prioritas. Berbeda dengan anak yang nyantri di
pasantren. Mereka belajar Islam dari yang paling dasar hingga Islam dalam ranah
lokal dan tradisi NU. Bagi kalangan santri, keahlian bahasa arab; kitab kuning
merupakan dasar utama dalam mempelajari Islam. Kajian agama diarahkan pada
sifatnya yang tartil, bertahap dan mendalam. Studi fiqh diajarkan bukan hanya
pada matannya (isi) tetapi juga pada syarahnya (penjelasan-tafsili). Ilmu
tauhid melebar hingga ilmu kalam. Hal ini terbukti dengan kitab-kitab tauhid di
pasantren umumnya mengandung filsafat yang lebih cendrung pada ilmu kalam.
Sehingga pembahasan dirasakan sangat mendalam. Bukan hanya mengetahui dalil
naqli tetapi juga dalil rasio (aqli). Kajian keagamaan (Islam) dalam dunia
santri harus menguak perbagai makna eksoteris maupun esoteris. Bahkan, studi
terhadap syair-syair arab ataupun kajian sastra selalu dipolakan dalam
pasantren. Bahkan tradisi NU dan ranah lokal dihidupkan dalam dunia santri.
Harapan semua kiyai di pasantren adalah mencetak kader kiyai NU dan menjadi
pemuka dan tokoh keagamaan di masyarakat.
Berbeda dengan dunia santri, anak muda
Islam yang sekarang belajar Islam dari pola pemahaman cepat dan prioritas
mengakibatkan kaum muda Islam memahami Islam secara eksoteris dan tidak
mengetahui Islam kultural dalam hal ini adalah ranah lokal dan tradisi kultural
NU. Mereka juga asing dengan bahasa arab terlebih sastra arab. Fiqh hanya
mereka ketahui dalam skala tertentu, tidak mendalam. Demikian pula ilmu tauhid.
Meskipun semangat mereka sangat dominan bahkan dapat menjelaskan keislaman.
Jadi kondisi ini memungkinkan bahwa Islam dikenal dan terus menjadi tradisi
pada masyarakat Banjar dengan kenyataan semangat anak-anak muda Islam untuk
belajar Islam sangat tinggi dan antusias. Meskipun bagian yang esoteris dan
tradisi kultural NU akan ditinggalkan sekurangnya dalam ranah lokal amaliyah
masyarakat Banjar. Jadi Islam akan terlihat dalam corak baru pada tahun-tahun
sekarang dan tahun berikutnya. Sekarang ini sudah terlihat kegiatan anak SD
untuk belajar membaca al Qur`an. Metode yang digunakan tidak lagi metode
tradisional tetapi metode modern (metode iqro) disemua pelosok daerah kal-sel.
Tiap tahun ada ribuan anak yang tamat al Qur`an. Sebuah fenomena baru yang
sangat menarik dan akan ditingkatkan lagi. Setidaknya sudah terlihat kader
muslim yang menggambarkan begitu cerahnya Islam di bumi kal-sel untuk masa-masa
akan datang. Meskipun pada konteks lain, kegairahan Islam bagi anak-anak umur
SMP dan SMA lebih banyak terlihat pada bulan Ramadhan namun setidaknya
anak-anak tersebut sudah mengenal Islam yang mungkin mereka tidak akan temukan
di rumah mereka. Tetapi, mereka hanya mengenal Islam dalam lapisan percepatan
dan prioritas.
Berangkat dari kenyataan demikian, kondisi
ekonomi dan perubahan sosial dalam ring kehidupan modern telah memaksa nilai
kultural NU mulai terkikis terutama pada kota besar Banjarmasin. Penyelamatan
terhadapnya dilakukan oleh semua lapisan tokoh keagamaan di Kal-Sel dengan
metode percepatan dan prioritas. Maka dalam konteks demikian, tanpa disadari
terjadi suatu pergerakan pemahaman keagamaan bagi kaum muda Islam di Kal-Sel
pada pola Islam Non Kultural. Degan kata lain terkader oleh keadaan baru dalam
realitas kehidupan beragama pada pola Islam Non Kultural. Keadaan ini bukan
berarti negatif. Namun bagi pihak kaum Nahdiyin adalah merugikan dalam aspek
kedekatan pada tradisi NU namun menggembirakan bagi kelompok yang ingin melihat
Islam dalam pemahaman yang murni tanpa serapan ranah lokal ataupun dalam
konteks semata tradisi NU. Hanya santri di Pasanten yang akan kuat memegang
dominasi tradisi NU dan masyarakat pedesaan.
E. Penutup
Berangkat dari uraian terdahulu, maka
tradisi kultur NU yang terlekat pada masyarakat Banjar pada mulanya terjadi
pada masyarakat pasantren. Kiyai-kiyai NU memulai dakwah mereka melewati
dibukanya pondok-pondok pasantren di sekitar kehidupan masyarakat. Pengaruh
pasantren sangat luar biasa dalam pengembangan keagamaan. Baik dari segi
keilmuan, pemikiran, sosial dan budaya. Berbeda dengan di tempat lain seperti
di jawa ada istilah budaya Islam santri dan abangan[8]
maka dalam masyarakat Banjar tidak dikenal istilah demikian. Dalam kenyataannya
sejak Islam masuk dalam kerajaan Islam Banjar (kesultanan Banjar), tradisi
Islam mulai diberlakukan. Titah raja yang muslim menjadi kekuatan dasyat bagi
rakyat untuk ditaati. Perlawanan terhadap Belanda dalam gerakan rakyat tidak
lepas dari ruh Islam di tempat ini. Keadaan ini berlanjut seterusnya di mana
ketika kerajaan Banjar tidak ada lagi dan diganti oleh masa kekuasaan Belanda,
maka tampuk kekuatan Islam diemban oleh para kiyai; tuan guru di berbagai
tempat hingga Belanda tidak lagi ada di wilayah Kalimantan Selatan.
Jalur laut yang dekat dengan Jawa selalu
dimanfaatkan oleh masyarakat Banjar dalam komunikasi. Setidaknya Islam mulai
ada pada kerajaan Banjar karena adanya hubungan dengan kerajaan Demak. Ketika
itu Pangeran
Samudera (Raja I) di Kerajaan Banjar. Setelah mendapat dukungan Kesultanan Demak untuk lepas dari Kerajaan
Negara Daha (1526-1550) dipimpin khatib Dayan. Kemenangan kerajaan Islam
mengharuskan raja Banjar masuk Islam. Mulailah pengaruh Islam masuk di wilayah
ini dengan warna Islam Demak. Selanjutnya hubungan dekat itu terus terjalin.
Banyaknya anak kiyai dan warga masyarakat menyokalahkan anak mereka ke Jatim
membawa budaya tersendiri di belakang hari di wilayah ini (pada masa Kerajaan
Banjar telah dimulai mengirim pelajar ke Mekkah namun jumlah mereka sangat
sedikit). Ketika organisasi Islam Nahdatul Ulama berdiri, organisasi ini
disambut baik oleh pemuka agama di wilayah ini. Di samping pemuka agama;
kiyai-kiyai di sini adalah orang Banjar yang dulunya menuntut ilmu di tanah
jawa, khususnya Jawa Timur, maka tempat Jatim juga merupakan tempat yang paling
dekat dengan Kalimantan Selatan. Sementara Jawa Timur merupakan basis NU
militan. Maka wajar daerah Kal-Sel menjadi basis kedua setelah Jatim. Sementara
tradisi lama (masa kerajaan Banjar) menyekolahkan anak ke Mekkah tidak dapat
diteruskan karena biaya yang mahal.
NU dengan sendirinya berkembang dalam
masyarakat Banjar di dukung oleh para tokoh keagamaan. Terlebih ia didukung
oleh keturunan orang yang paling berpengaruh tokoh keagamaan di kerajaan Banjar
yaitu Syekh Besar Muhammad Arsyad al Banjari. Maka NU menjadi hidup dan adaptif
dalam masyarakat Banjar. Bahkan NU menjadi instrument mentransformasikan Islam
dalam budaya masyarakat lokal. Pengaruh NU dan Islam yang hampir sulit
dipisahkan dalam kenyataan budaya – kultur masyarakat Banjar.
Mulai berdirinya sekolah-sekolah negeri di
wilayah ini, terutama sejak tahun 80-an ke atas, mulai terjadi persangingan
ketat dengan pasantren. Perubahan sosial-ekonomi mengharuskan banyak orang tua
menyekolahkan anak mereka ke sekolah-sekolah negeri. Akibatnya beberapa tradisi
kultur NU mulai tergoyang dan terkikis dalam masyarakat. Upaya penyeimbang
dengan dakwah di luar pasantren mengakibatkan transformasi ilmu bersifat
percepatan dan prioritas. Hal ini di dukung pula oleh da`i-da`i lulusan IAIN
(sebagiannya) lebih berpihak pada Islam non kultural maka tradisi kultural NU
mulai dirasakan terkikis terutama di kota besar Banjarmasin, meskipun untuk
tahun-tahun akan datang, tradisi kultural tersebut tidak mungkin habis selama
pasantren masih ada di tempat ini. Demikian juga, yang paling kontras terlihat
pada bagian politik. Kiyai di sini tak dapat lagi mendoktrin haluan politiknya
untuk menunjuk suatu partai menjadi harus diikuti. Fenomena ini dibuktikan
dengan kalahnya PKB dan PKNU suaranya di Kal-Sel. Berbeda pada tahun-tahun
70-an, di mana sifat ketaatan pada kiyai bersifat total. Dibuktikan dengan
kemenangan P3 yang biasanya langsung dipimpin oleh para pemuka agama. Mungkin
pula ada benarnya anggapan bahwa pergeseran tersebut karena pergeseran yang
terjadi pada institusi NU sendiri dari politik kebangsaan menjadi politik
kekuasaan.
Kondisi sekarang bisa dikatakan sebagai
kondisi tarik menarik antara Islam kultur NU dengan Islam yang kurang berpihak
pada kultur NU maupun budaya Lokal. Gerakan Muhammadiyah sangat mungkin menjadi
lebih leluasa untuk menanamkan pemahamannya pada masyarakat. Terlebih, anak
muda Islam di sini cukup antusias terhadap da`i-da`i muda lulusan IAIN (baik
yang berpihak pada kultur NU maupun non tradisi NU). Maka akan sangat terlihat
dan tampak pada masa-masa akan datang perubahan tersebut. Masuknya Hizbuz
Tahrir di kampus-kampus untuk mengajarkan Islam juga merupakan fenomena baru.
Meskipun pengaruhnya masih sangat kecil. Berbeda dengan yang pertama, totalitas
ketaatan pada kiyai berkurang seiring dengan berkurangnya antusiasnya
masyarakat pada NU itu sendiri karena dasyatnya perubahan sosial ekonomi. Di
bawah ini ada beberapa point yang penting sebagai simpulan terjadinya
pergeseran perspektif masyarakat Banjar terhadap kiyai NU maupun kenyataan rill
NU sekarang sebagai gerakan keagamaan, sbb :
1.
Kiyai ditaati selama tidak pada masalah politik (berbeda dengan era tahun
70-an hingga 80-an ke atas).
2.
Isu-isu gender tidak diterima oleh masyarakat Banjar karena tidak mendapat
dukungan dari para kiyai NU.
3.
Beberapa tradisi kultur NU tidak lagi diamalkan oleh umum masyarakat terutama
masyarakat perkotaan (Banjarmasin) karena pengaruh sosial ekonomi maupun adanya
dakwah lain yang kurang berpihak pada tradisi kultur NU dan tradisi ranah
lokal. Di sini terjadi tarik menarik pemahaman baru misalnya tentang menentukan
hari untuk usaha, hari perkawinan, bamandi-mandi untuk perkawinan, menentukan
hitungan pada nama anak, soal baik buruk pekerjaan.
4.
Masyarakat Banjar masih mengikuti kepada nasehat dan fatwa kiyai NU
terhadap persoalan umum keagamaan seperti masalah-masalah keilmuan yang
bersifat mistik, hukum Islam, soal perbankan; riba, bisnis, perkawinan,
kelahiran anak, kewarisan, menentukan arah kiblat solat, pembangunan mesjid,
dll.
5.
Kiyai NU adalah kiyai yang memiliki kemampuan ilmu lahir dan batin, baik
ilmu agama, tasawuf maupun ilmu gaib.
6.
Masyarakat Banjar masih mengakui bahwa untuk memperdalam ilmu agama secara
tuntas hanya dapat dilakukan dengan kiyai NU melewati pasantren. Hal ini
dibuktikan dengan masih banyaknya antusias masyarakat untuk menyekolahkan anak
mereka ke pasantren meskipun diukur persentasi dari jumlah penduduk dirasakan
berkurang jauh dari dekati tahun 70-an.
7.
Gerakan NU sebagai organisasi yang bergerak dengan semangat harakatul
diniyah (gerakan keagamaan), harakatul adabiyah (gerakan moral) maupun sebagai
organisasi besar; harakatul ijtimaiyyah (gerakan keorganisasian), dengan paham
ahlus sunnah wal jamaah cukup dominan hanya pada daerah pedesaan-banua lima.
Padahal sebelum tahun 90-an cukup dominan di perkotaan; Banjarmasin.
8.
Pengurus organisasi NU bukan lagi harus kiyai pasantren tetapi boleh orang
biasa. Karenanya nasehat dan fatwa kiyai NU di pasantren akan diikuti sedangkan
jika dari pengurus organisasi NU tidak harus diikuti sebab mereka belum
dianggap sebagai kiyai NU.
9.
Nara sumber ceramah agama yang dilakukan oleh masyarakat Banjar tidak lagi
harus orang pasantren atau kiyai NU. Siapapun boleh asalkan ia mampu memberi
pengetahuan keagamaan. Ini jelas bahwa perkembangan gerakan keagamaan sekarang
dan lazimnya di berbagai tempat di Indonesia, NU dalam gerakan keagamaannya sekarang
di kal-sel tidak lagi mampu mendominasi dakwahnya terhadap masyarakat perkotaan
(Banjarmasin). Meskipun untuk wilayah pedesaan masih cukup dominan. Kaum muda
Islam mulai tertarik dengan usatadz-ustadz
muda di luar pasantrent tanpa memperhatikan apakah mereka adalah orang
NU ataukah campuran (mungkin lulusan IAIN ?) atau beraliran tidak berpihak pada
tradisi kultul NU. Karena mereka masih dianggap dapat menjelaskan bagi
eksoteris keagamaan dan pengetahuan prioritas Islam.
Referensi
Daud, Alfani., Islam dan
Masyarakat Banjar, Rajawali Pers. Jakarta, 1997.
Haris, Abdul., dkk, Pergeseran Perilaku Politik Kultural
Nahdlatul Ulama (NU) di Era Multi Partai Pasca Orde Baru, Studi Kasus NU Jember, Jawa Timur, STAIN Jember Jawa Timur
Ida, Lauda., NU Muda; Kaum Progresif Dan
Sekularisme Baru, Erlangga, Jakarta, 2004
Kuntowijoyo, Paradigma Islam, Interpretasi
untuk Aksi, Mizan, Jakarta, 1993
Mudzhar, Atho'., Gerakan
Islam Liberal Di Indonesia, artikel Balitbang Depag.RI, Rabu, 12 Maret 2008
Madjid, Nurcholish. Islam, Kemoderenan dan
Keindonesiaan, Mizan, Jakarta, Cet.VI. 1994
----------------------, Islam Kerakyatan
dan Keindonesiaan, Mizan, Jakarta, 1993
----------------------, Islam Doktrin dan
Peradaban, Paramadina, Jakarta, 1992
Rais, Amin., Ed, Islam di Indonesia,
Rajawali Pers, Jakarta, 1986
Rahardjo, M. Dawan., Intelektual
Intelegensia dan Prilaku Politik Bangsa, Mizan, Jakarta, 1993
* Dosen Fakultas Syariah IAIN
Antasari Banjarmasin
[2] Berada di Provinsi Kalimantan Selatan dengan nama kota
Banjarmasin. Sukubangsa Banjar adalah suku bangsa yang menempati sebagian besar wilayah Provinsi Kalimantan
Selatan, sebagian Kalimantan Timur dan sebagian Kalimantan Tengah terutama kawasan dataran dan bagian hilir
dari Daerah Aliran Sungai (DAS) di wilayah tersebut. Suku bangsa Banjar berasal
dari daerah Banjar yaitu wilayah inti dari Kesultanan Banjar meliputi DAS Barito
bagian hilir, DAS Bahan (Negara), DAS Martapura dan DAS Tabanio. Kesultanan
Banjar sebelumnya meliputi wilayah provinsi Kalimantan
Selatan dan Kalimantan Tengah, kemudian terpecah di
sebelah barat menjadi kerajaan
Kotawaringin yang dipimpin Pangeran Dipati Anta Kasuma dan di sebelah timur menjadi kerajaan Tanah Bumbu yang dipimpin Pangeran
Dipati Tuha yang berkembang menjadi beberapa daerah : Sabamban, Pegatan, Koensan, Poelau Laoet, Batoe Litjin, Cangtoeng, Bangkalaan, Sampanahan, Manoenggoel, dan Tjingal. Wilayah Kalimantan
Tengah dan Kalimantan Timur merupakan tanah rantau primer, selanjutnya dengan
budaya madam, orang Banjar merantau hingga ke luar pulau.
http://id.wikipedia.org/wiki/Suku_Banjar.
[3] Banjarmasin Post, Kamis 8/12
[4] Ada beberapa buah pasantren ditemukan
beraliran Muhammadiyah seperti al Furqon, dan Ibtidaiyah Diniyyah dan aliran
mandiri (bukan NU dan Muhammadiyah).seperti pasantren ustadz Lutfi di Sei Mesa.
[6]
Almarhum al alamah KH. Zaini Ghanie, sering pula disebut dengan Tuan Guru
Besar, syekh sakumpul hingga sekarang makam beliau terus diziarahi dari
berbagai daerah. Beliau termasuk keturunan ketujuh dari Syekh M. Arsyad al
Banjari (pengarang kitab Sabilal Muhtadin), seperguruan dengan tokoh syekh
Palimbani Sumatera ketika belajar di
Mekkah. Sewaktu beliau hidup dikunjungi oleh beberapa president RI dan para
mentri.
[7] M. Dawan Rahardjo,
Intelektual Intelegensia dan Prilaku Politik Bangsa, Mizan, Jakarta, 1993, h.
185