Senin, 05 Desember 2011

TRAKTAT MARAPALAM “ADAT BASANDI SYARA’- SYARA’ BASAN DI KITABULLAH” (Diktum Karamat Konsensus Pemuka Adat dengan Pemuka Agama dalam Memadukan Adat dan Islam di Minangkabau – Sumatera Barat)



TRAKTAT MARAPALAM “ADAT BASANDI SYARA’- SYARA’ BASAN  DI KITABULLAH”
(Diktum Karamat Konsensus Pemuka Adat dengan Pemuka Agama dalam Memadukan Adat dan Islam di Minangkabau – Sumatera Barat)

Ramayulis *

ABSTRAK

Konsensus Traktat Marapalam “Adat Basandi Syara’ – Syara’ Basandi Kitabullah” (ABS-SBK) yang merupakan hasil perjuangan orang Minangkabau, kemudian menjadi filosofi dan jati diri masyarakat adat dan agama. Secara prinsipil konsensus ini memberikan landasan filosofis, motivasi keramat dan energi  dalam menyalakan spirit perubahan sekaligus sebagai standar dalam menentukan keabsahan setiap perubahan itu. Dalam kemajuan dan kemunduran akibat perubahan yang dihadapi sekarang terutama dalam bidang sosio-kultural yang didominasi Barat, maka masyarakat mencari filternya. Bagi masyarakat Minangkabau consensus dan falsafah Adat  Basandi Syara’ – Syara’ Basandi Kitabullah” merupakan filter relevan dalam menyaring dampak negatif budaya Barat. Diyakini dengan penghayatan dan pengalamalan konsesus ini akan efektif menjadi daya tangkal dampak negatif globalisasi yang sarat dengan pengaruh negatif Barat seperti liberalisme, sekularisme, materialisme, hedonisme, individualism dsb. Artinya dengan penerapan diktum karamat konsesus Marapalam ini, masyarakat Minangkabau tidak akan tercabut dari akar budayanya. Karenanya ketika diundangkannya UU No. 22 tahun 1999 tentang Otonomi Daerah diganti dengan UU No. 32/ 2004 plus UU No. 08/2005 Sumatera Barat mengimplementasikan otonomi daerah itu dengan sistim kembali ke nagari berbasis surau dilandasi Perda No. 9/ 2000 dan direvisi dengan Perda No. 02/ 2007, baik otonomi dalam bidang politik, ekonomi, maupun sosial budaya termasuk pendidikan. Dengan sistem otonomi Sumatera Barat kembali ke nagari yang berbasis surau ini, mengukuhkan kembali falsafah masyarakat adat ABS – SBK yang menjadi konsesus Marapalam ini.

Pendahuluan

Kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi di era global ini dapat dipastikan membawa perubahan. Ketika perubahan berdampak negatif, masyarakat mencari filter dan daya tangkal. Masyarakat Minangkabau masih berkeyakinan filter dan daya tangkal pengaruh negatif global itu adalah agama dan adat. Substansi menjalankan agama dengan adat itu sudah pernah menjadi konsensus orang Minangkabau dirumuskan tokoh agama dan adat dikenal dengan “Traktat Marapalam”. Isi rumusan konsensus itu berbunyi: “Adat  Basandi Syara’ – Syara’ Basandi Kitabullah” (ABS – SBK). Konsensus ini menjadi energy menyalakan spirit perubahan orang Minang yang tetap berakar pada budayanya. Karenanya konsesus ini menjadi jati diri bahkan menjadi falsafah hidup orang Minangkabau dan diyakini efektif menjadi filter relevan dalam menyaring segala dampak negative termasuk dampak globalisasi yang didominasi budaya Barat.
Demikian pula ketika muncul pemikiran kontemporer, menawarkan pelaksanaan syari’at Islam di Sumatera Barat, orang Minang menganggap pemikirnya “telmi” (talat mikir), karena bahasanya tidak pas dengan zaman perkembangan bahkan memundurkan Minangkabau ke masa lalu, damikian pula bahasanya tidak menggambarkan citra Minang yang menggunakan bahasa kias. Sejak abad ke-19 sebelum dirumuskan falsafah bangsa Pancasila, sudah ada konsensus yang menaruh esensi dan substansi mengamalkan syari’at Islam itu. Bahasanya tidak menjadi “Negara Islam” dan “mengamalkan Syari’at Islam”, tetapi secara faktual sosio-kultural dan historis, orang Minang sudah puya bahasa yang sudah cukup mengakar dan secara pilosofis melandasi pemikiran orang Minang, yakni Syarak Mangato Adat Mamakai (SM-AM), sebagai cara jitu untuk mengimplemetasikan  filosofi orang Minang: Adat Basandi Syarak, Syarak Basandi Kitabullah (ABS SBK) sebagai isi konsensus Traktat Marapalam.
Konsensus ABS-SBK ini yang substansi adat yang Islami1 sudah pernah menjadi landasan filosofis penataan Nagari sebagai wilayah subkultur dan pemerintahan adat yang disebut Belanda sebagai “Republik Kecil”. Tipe Nagari itu adalah “Nagari ABS – SBK” dengan bentuk struktur pemerintahannya: (1) fungsi eksekutif dijabat Kapalo Nagari dan perangkat nagari terdiri dari struktur: manti (sekretaris), bandaro, paga nagari, cati (pembangunan), pendidikan, (2) fungsi legislatif dijabat Kerapatan Nagari (KN) duduk sebagai wakil dari unsur Ninik Mamak (NM), unsur Alim Ulama (AU) dan unsur Cadiak Pandai (CP) dipilih dalam musyawarah KN denan quorum unsur NM, AU, CP, dan (3) fungsi yudikatif dijabat Ketua Peradilan Nagari.
Setelah Indonesia merdeka terjadi perubahan nagari bahkan pernah nagari dimarjinalkan dengan diberlakukan UU No.5/ 1979. Sekarang era otonomi yang Sumatera Barat mengambil sistem “kembali ke nagari berbasis surau” namun pelaksanaannya setengah hati dan terkesan mengabaikan konsensus Marapalam, ibaratnya, ABS – SBK konsensus traktat Marapalam itu, seperti “janji tidak terisi”.
Makalah ini mencoba menela’ah konsensus pemuka adat dan pemuka agama Minangkabau ini dalam memadukan adat dan Islam di Minangkabau – Sumatera Barat. Kajian meliputi (1) Minangkabau pada Masa Pengaruh Hindu dan Budha, (2) Adat Minangkabau Sebelum Kedatangan Islam, (3) Masuk dan Berkembangnya Islam di Minangkabau, (4) Proses Terjadinya Konsensus antara Adat dan Syara’, (5) Implementasi Adat Basandi Syara’ – Syara’ Basandi  Kitabullah dalam Kehidupan Masyarakat Minangkabau, (6) Relevansi “Adat Basandi Syara’ – Syara’ Basandi Kitabullah” pada Masa Sekarang. 

Minangkabau pada Masa Pengaruh Hindu dan Budha

Minangkabau dengan kebudayaannya telah ada sebelum datangnya Islam, bahkan juga telah ada sebelum agama Hindu dan Budha memasuki wilayah nusantara ini, bukanlah kebudayaan Minangkabau itu telah mencapai bentuknya yang terintegrasi dan mempunyai kepribadian yang kokoh.2 Oleh karena itu setiap kebudayaan yang datang dari luar yang dirasakan bertentangan dengan dasar falsafah adatnya tidak dapat bertahan di Minangkabau.
Kebudayaan luar yang mula-mula masuk ke Minangkabau adalah Hindu/ Budha. Agama Hindu dan Budha masuk di Minangkabau melalui dua cara ; (1) dengan cara non formal, yaitu melalui jalur dagang dan (2) dengan cara formal yaitu melalui sistem kekuasaan pihak yang memenangkan perang.
Cara pertama melalui jalur dagang, diketahui Daerah Minangkabau strategis dan menguntungkan bagi lalu lintas perdagangan, karena di wilayah Timur Minangkabau  jalur perairan Selat Melaka dan di wilayah rantau pesisir jalur pantai barat Sumatera berbasis di Banda-X, di Pelabuhan Emas Pulau Cingkuk dan Pelabuhan Lada dalam Kesultanan Indrapura ramai dilalui dan disinggahi kapal dagang asing (India, Persia, Gujarat, Arab, Cina, Sepanyol, Inggiris, Belanda dll) mengangkut tembakau, kopi, lada, emas dll. Yang mula-mula datang adalah pedagang dari Hindia. Karena pedagang dari Hindia ini beragama Budha maka mereka sambil berdagang mengembangkan agama Budha, sehingga agama itulah yang mula-mula masuk dan berkembang di Minangkabau bagian Timur.
Perkembangan agama Budha pada tahap ini tidak berjalan secara efektif karena di samping sukar menyesuaikan diri dengan kebudayaan asli juga mendapat gangguan dari saudagar Persia yang telah menarik penduduk asli ke dalam agama Islam pada abad VII dan VIII M, hanya saja pengaruh Islam pada waktu itu belum meluas karena kedudukan saudagar Persia itu digantikan pula oleh saudagar Cina yang juga beragama Budha.
Cara kedua penyiaran agama Budha di Minangkabau mulai berlaku pada waktu raja Aditiyawarman memerintah di Minangkabau pada tahun 1347-1375 M. Ia adalah  seorang Pangeran dari Majapahit yang dilahirkan dari seorang ibu asal Melayu yang bernama Dara Jingga.
Dalam suatu perluasan kekuasaan Majapahit ke Pusat pulau Sumatera, Majapahit mengirim suatu ekspedisi ke Minangkabau dalam perang diplomasi, ekspedisi itu mengalami kekalahan. Dalam tambo, perang diplomasi itu dilambangkan dengan adu kerbau. Atas kemenangan kerbau dari Minangkabau, daerah itu kemudian dinamai Minangkabau.3
Pengaruh yang ditinggalkan agama Hindu/ Budha yang dibawa oleh Aditiyawarman adalah munculnya pengertian nagari yang berasal dari bahasa pengikut agama Hindu/ Budha yang berdiam di tengah-tengah orang Minangkabau, di samping itu juga terlihat pada “saluak” dan destar (tutup kepala pakaian kebesaran Penghulu).
Setelah berakhirnya kekuasaan Aditiyawarman di Minangkabau, maka kebudayaan Hindu/ Budha itupun lenyap dari Minangkabau tanpa meninggalkan pengaruh yang berarti terhadap adat.

Adat Minangkabau Sebelum Kedatangan Islam

Falsafah adat Minangkabau (sebelum kedatangan Islam) berdasarkan ketentuan yang ada dalam alam nyata. Alam bagi orang Minangkabau ialah segala-galanya, bukan hanya sebagai tempat lahir dan tempat mati, tempat hidup dan berkembang, melainkan juga mempunyai makna filosofis, seperti yang diungkapkan dalam norm mamangannya; alam takambang jadi guru (alam terkembang jadi guru). Oleh karena itu, ajaran dan pandangan hidup mereka yang dinukilkan dalam pepatah, petitih, pituah, mamangan, serta lain-lainya mengambil ungkapan dari bentuk, sifat dan kahidupan alam.4
Alam dan segenap unsurnya mereka lihat senantiasa terdiri dari empat atau dapat dibagi dalam empat, yang mereka sebut nan ampek (yang empat). Seperti halnya; ada matahari, ada bulan, ada bumi, ada bintang; ada siang, ada malam, ada pagi, ada petang; ada timur, ada barat, ada utara, ada selatan; ada api, ada air, ada tanah, ada angin. Semua unsur alam saling mengikat, saling berbenturan tapi tidak saling melenyapkan, dan saling mengelompok tapi tidak saling meleburkan. Unsur-unsur itu dinamis sesuai dengan dialetika alam yang mereka namakan bakarano bakajadian (bersebab dan berakibat).
Bila alam dengan segala unsurnya itu dikiaskan kepada kehidupan manusia, sebagaimana mereka mengiaskan alam sebagai tanah air Minangkabaunya, maka pemahaman unsur alam bermakna sebagai lembaga atau individu dalam masyarakat mereka. Masing-masing berhak mempertahankan eksistensinya dalam perjalanan hidupnya. Sebaliknya, setiap lembaga mempunyai kewajiban untuk memelihara eksistensi individu dalam lembaganya masing-masing, di samping setiap individu pun berkewajiban memelihara eksistensi lembaganya pula. Sedangkan harmoni dipahamkan sebagai keselarasan atau kesesuaian hidup sesama lembaga dan sesama individu, antara lembaga dan individu, dan sebaliknya. Setiap lembaga atau individu mempunyai perbedaan dalam kadar dan perannya. Oleh kerena, mereka tidak dapat bersatu dengan yang lain, tetapi akan tetap sama dengan yang lain. Jadi dalam dinamika harmoni, mereka dalam masing-masing menjadi satu untuk bersama dan masing-masing menjadi sama untuk diri sendiri.
Aturan hidup yang dibuat berdasarkan alam nyata meliputi :
1) Kedudukan orang seorang
2) Hubungan seseorang dengan masyarakat (orang lain)
3) Perekonomian masyarakat5
Adapun yang menjadi sendi dasar adat Minangkabau adalah apa yang sering dinamakan dengan sistem  Tungku Tigo Sajarangan yaitu (1) Alua jo patuik, (2) Anggo jo tanggo, dan (3) Raso jo pareso.6 Funsionaris Tungku Tigo Sajarangan itu adalah tiga unsur yakni (1) alim ulama, (2) ninik mamak dan (3) cadiak pandai (cendekiawan).
Yang dimaksud dengan Alua jo patuik adalah  meletakkan sesuatu pada tempatnya substansi hukum. Anggo jo tanggo dimaksudkan pedoman dasar yang substansinya sama dengan anggaran dasar/ anggaran rumah tangga pada sebuah kelembagaan. Sedangkan raso jo pareso  dimaksudkan sebagai dasar pri kemanusiaan dan pri keadilan berfunsi sebagai peraturan perundang-undangan. Jadi sendi dasar adat Minangkabau ialah: kewajaran (meletakkan sesuatu pada tempatnya), hukum keadilan, prikemanusiaan dan kebenaran.
Fungsi dari fungsionaris Tungku Tigo Sajaragan (1) fatwa pada ulama, (2) perintah (untuk dilaksanakan keponakan) pada ninik mamak dan (3) teliti pada cadiak pandai.
Di samping sistem Tungku Tigo Sajarangan dan Tali Tigo Sapilin,  adat Minangkabau juga terbagi empat tingkatan yaitu :
1)       Adat nan sabana adat, yaitu kenyataan yang berlaku dalam alam, atau sesuatu yang telah dan terus berjalan sepanjang masa, seperti adat api dan membakar, adat air membasahi.
2)       Adat nan diadatkan, yaitu sesuatu sistem dan atur berprilaku yang dirancang, dijalankan serta diteruskan oleh nenek moyang yang pertama kali menempati Minangkabau untuk menjadi peraturan bagi kehidupan masyarakat dalam segala bidang.
3)       Adat nan teradat, yaitu kebiasaan setempat yang dapat bertambah, dengan kata lain adat nan teradat ini dapat saja berbeda antara suatu nageri dengan nageri lainnya.
4)       Adat istiadat, merupakan aturan adat Minangkabau yang dibuat dengan kata mufakat (konsensus) ninik mamak yang menampung segala kemauan dan kesukaan anak nagari selama menurut ukuran alur dan patut seperti pakaian, kesenian, ukiran dan lain sebagainya.7
Namun dalam masalah ketuhanan dan kehidupan akhirat tidak terlihat secara nyata dalam adat Minangkabau  karena adat tersebut didasarkan kepada alam nyata. Dalam pepatah adat dinyatakan :
Panakiak pisau sirauik (pemotong pisau siraut)
Ambiak galah batang lintabung (ambil galah batang lintabung)
Salodang ambiak ka niru (salodang ambil ka niru)
Satitiak jadikan lauik (setetes jadikan laut)
Sakapa jadikan gunuang (sakapa jadikan gunung )
Alam takambang jadikan guru (alam terkembang jadikan guru)
Dalam petatah tersebut terlihat sekali falsafah alam dari adat Minangkabau, begitu pula dalam pepatah :
Gajah mati  maninggakan gadiang (gajah mati meninggalkan gading)
Harimau mati maninggakan balang (harimau mati meningglkan belang)
 Manusia mati maninggakan namo (manusia mati meninggalkan nama)
Jadi dari pepatah di atas terlihat ketidakjelasan arah kehidupan setelah manusia meninggal dilihat dari perspektif syara’ (Islam).

Masuk dan Berkembangnya Islam di Minangkabau

Menurut para sejarawan, masuk dan berkembangnya Islam di Minangkabau melalui tiga tahap :
Tahap pertama, yaitu melalui jalan dagang. Sifat keterbukaan suku bangsa Minangkabau serta adanya komoditi dagang yang diperlukan, mengundang datangnya saudagar-asudagar asing untuk memasuki dan mengembangkan pengaruhnya di Minangkabau. Pada abad  VII M, pedagang-pedagang berasal dari India (Hindia), Persia, Gujarat, Arab, Cina banyak yang datang ke Minangkabau bagian timur untuk membeli lada, sedangkan pedagang-pedagang tersebut telah memeluk agama Islam. Demikian pula lewat jalur perairan, pedagang telah mendirikan kloni Arab di daerah pantai Barat Sumatera. Tidak mustahil pada waktu itu telah berlangsung penyiaran agama Islam secara tidak resmi, baik melalui pergaulan maupun perkawinan. Penyiaran Islam waktu itu berjalan dengan baik walaupun tidak terencana, serta mudah berkembang di antara pribadi-pribadi orang Minangkabau karena ajarannya sederhana mudah dipahami dan dalam beberapa hal searah dengan kebudayaan dan falsafah adat yang telah berkembang sebelumnya.8
Tahap kedua, penyiaran agama pada tahap ini terjadi pada saat Pesisir Barat Minangkabau berada di bawah pengaruh Aceh. Sebagai umat yang berasal dari wilayah Indonesia yang lebih dahulu memeluk agama Islam, saudagar/ mubaligh Aceh giat menyiarkan Islam di daerah pesisir yang telah menjadi pengaruh Aceh. Bahkan pengislaman Minangkabau secara besar –besaran dan terencana terjadi setelah pesisir berada di bawah pengaruh Aceh.9 Demikian pula penyebaran Islam berbasis Minang sebenarnya sudah pula meluas sejak abad ke-15, sampai ke Indonesia Bagian Timur disebarkan tiga ulama dari Minang yakni Dato’ Ritimang, Dato’ Ritiro dan Dato’ Ribandang. Ke Brunei melalui Serawak dikenal Dato’ Godam, ke Philipina disebarkan da’i Arab asal Minang dikenal Rajo Bagindo (Raja Baguinda) menjadi raja di Buansa dan putrinya menikah dengan da’i Arab temannya yang kemudian mendirikan keraja Sulu Philipina.
Pengembangan Islam secara terencana terjadi setelah 6 orang putra Minangkabau pergi ke Aceh setelah menamatkan pelajaran dengan Syeikh Tapakis. Mereka ke Aceh melanjutkan pelajaran ilmu agama Islam kepada seorang ulama besar yaitu Syekh Abdur Rauf. Mereka 6 orang itu ialah Syeikh Burhanuddin Ulakan (Pariaman) ahli tasauf, Syeikh Buyung Muda Puluik-puluik Bayang (Pesisir Selatan) ahli ilmu sharaf (morpologi Arab), Syeikh Muhammad Nasir Koto Panjang Padang ahli tasir, Syeikh Muhsin/ Supayang Solok ahli nahu (sintaksis Arab), Syeikh Padang Ganting Tanah Datar ahli fiqhi (hukum Islam) dan Syeikh Khalidin (Ipuh) ahli tasauf.
Sepulang 6 ulama Minang dari Aceh itu, mereka mengajarkan agama Islam secara teratur berbasis pada jaringan surau mereka (di Ulakan Pariaman, Bayang Pesisir Selatan, Koto Panjang Padang, Supayang Solok, Ipuh dan Padang Ganting Tanah Datar). Jaringan surau ulama ini berfungsi sebagai lembaga pendidikan Islam dan rami dikunjungi orang-orang Minangkabau dari seluruh pelosok nageri dan juga dari luar Minangkabau. Melalui merekalah Islam semakin berkembang sampai ke Darek (daerah dataran tinggi). Dari kejadian inilah muncul petatah adat “syara’ mandaki adat manurun”.10
Tahap ketiga, Islam masuk dari daerah pesisir, mendaki dan berkembang ke seluruh alam Minangkabau. Walaupun di pusat kejaraan Pagaruyung raja masih beragama Budha, namun sejak abad XV M sebagian daerah Minangkabau telah memeluk agama Islam. Setelah raja Anggawarman telah memeluk agama Islam, dan mengganti namanya dengan Sultan Alif, maka secara resmi Islam telah masuk di istana Pagaruyung. Hal ini sangat berpengaruh sekali bagi perkembangan Islam  dan semenjak saat itu seluruh rakyat Minangkabau resmi memeluk agama Islam. Semenjak itu pulalah dimulai perombakan lembaga pemerintahan menyesuaikan dengan lembaga yang telah ada dalam Islam. Muncul lembaga pemerintahan baru di tingkat atas yaitu Raja Ibadat, yang berkedudukan di Sumpur  Kudus, sebagai imbangan terhadap Raja Adat yang berkedudukan di Buo10 dan Rajo Alam di Pagaruyung.
Kedatangan agama Islam ke Minangkabau berbeda dengan kedatangan agama Hindu dan Budha. Agama Hindu dan Budha tidak bertahan lama di Minangkabau, karena ajarannya banyak yang bertentangan dengan adat Minangkabau. Kedatangan Islam ke Minangkabau menjadi rahmat (kasih sayang) bagi masyarakat Minangkabau. Hal ini disebabkan karena masuk dan berkembangnya Islam di tengah adat yang ada sebelumnya, sejalan dengan pola yang telah ditempuh nabi Muhammad SAW sebagai pembawa ajaran Islam, waktu masuk ke tanah Arab  sebelumnya juga telah diatur oleh tatanan adat. Pola yang dimaksud adalah sebanyak mungkin menerima dan menyerap adat yang telah ada dan disatukan dengan ajaran agama yang datang kemudian.11
Islam membawa tatanan tentang apa yang harus diyakini oleh umat atau yang disebut akidah dan tatanan tentang  apa yang harus mereka amalkan, yang disebut dengan syari'ah atau syara’. Yang menyangkut dengan akidah ini terutama tentang ketuhanan. Adat Minangkabau tidak menampakkan bentuknya yang nyata dan hanya mendasarkan kepada alam nyata. Tidak ditemukan ajaran tentang kehidupan di balik kehidupan nyata ini seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya.
Setelah Islam masuk adat Minangkabau diarahkan secara perlahan-lahan kepada keyakinan akan alam ghaib (alam akhirat) sebagai tujuan hidup manusia. Jika pada mulanya adat Minangkabau hanya mengakui alam nyata saja dan dengan pengaruh Islam akhirnya berubah kepada pengakuan akan adanya alam ghaib (alam akhirat) sebagai tujuan akhir untuk bertemu dengan sang Pencipta alam nyata ini yaitu Allah swt.

Proses Terjadinya Konsensus antara Adat dan Syara’

Filosofi Adat Basandi Syara’ – Syara’ Basandi Kitabullah (ABS – SBK), merupakan puncak dari persentuhan, perbenturan, penyesuaian dan perpaduan antara adat Minangkabau yang sudah ada semenjak dari ninik moyang dengan agama Islam yang datang kemudian.
Lahirnya falsafah ABS – SBK tidaklah muncul begitu saja, akan tetapi melalui masa yang panjang, bahkan dalam masa yang panjang itu terjadi perbenturan/ konflik antara adat dan agama Islam. Hal ini terjadi karena adat Minangkabau sudah mempunyai tatanan kehidupan baik secara individu maupun secara bermasyarakat. Di samping itu Islam yang datang kemudian juga membawa tatanan dalam kehidupan dalam segala segi dan juga menuntut ketaatan dari pada pemeluknya. Dengan kedatangan Islam  itu bertemulah dua tatanan kehidupan di alam Minangkabau yang masing-masing menuntut kepatuhan dari umat/masyarakat penganut/pendukungnya. Dengan demikian mulailah terjadi persentuhan yang saling tarik menarik antara adat dan agama.
Ada beberapa tahapan yang dilalui dalam rangka menuju kepada bentuk yang terpadu dan serasi antara adat dan agama Islam, yaitu:
Tahap pertama, adat dan syara’ (Islam) berjalan sendiri-sendiri dalam batas-batas yang tidak saling mempengaruhi. Masyarakat Minangkabau  menjalankan agamanya dalam bidang akidah dan ibadah, tetapi yang menyangkut kehidupan sosial, adat lama masih tetap berlaku, sebagaimana dikatakan oleh pepatah sebagai filosofi adat “Adat Basandi Alur dan Patut – Syara’ Basandi Dalil (ABAP – SBD) (adat berdasarkan aturan dan kepantasan, syara’ berdasarkan dalil), maksudnya adalah adat berdasarkan kepada jalur  dan kepatutan dan syara’ berdasarkan kepada dalil yang terdapat dalam al Qur’an dan Sunnah Rasulullah.
Tahap kedua, satu sama lain saling menuntut hak tanpa menggeser kedudukan pihak lain. Di sinilah muncul filososfi: “Adat Basandi Syara’ – Syara’ Basandi Adat (ABS – SBA) (adat bersendikan kepada syara’ dan syara’ bersendikan kepada adat). Pepatah adat ini mengandung arti bahwa adat dan syara’ saling membutuhkan dan tidak dapat dipisahkan.12
Pada tahap kedua ini terjadi penyesuaian yang mengandung arti bahwa bangunan lama (adat Minangkabau) dapat dipertahankan dan bangunan baru (ajaran Islam) diterima adanya. Dalam tanggung jawab keluarga seorang lelaki dalam fungsinya sebagai ayah dan sebagai mamak dituntut bias mendistribusikan tanggung jawab sesuai dengan fungsinya (sebagai ayah atau mamak), misalnya dinyatakan dalam pepatah :
Kaluak paku kacang balimbiang (kelok pakis kacang belimbing),
tampuruang lenggang lenggangkan (tempurung lenggang lenggangkan),
baok bajalan ka Saruaso (bawa berjalan ke Saruaso)
Anak dipangku kamanakan di bimbiang (anak dipangku keponakan di bimbing)
urang kampuang di patenggangkan (orang kampung diperhatikan)
tenggang adaik jan binaso (pelihara adat jangan binasa).

Maksudnya bahwa seorang laki-laki dalam keluarga adalah paman oleh keponakannya, adat menuntut agar dia menanggung kehidupan keponakannya. Dalam waktu yang sama dia adalah ayah dari anak-anaknya, syara’ menuntutnya agar memberi nafkah anak-anaknya. Di samping itu dia juga anggota masyarakat, maka dia juga harus memberikan bantuan kepada masyarakat (keponakan).
Tanggung jawab seorang laki-laki di Minangkabau dilaksanakan sebagaimana digambarkan dalam pepatah  sebagai berikut :
Padang banamo panjariangan (Padang bernama Panjaringan)
Tampaik bajalan rang batigo (tempat berjalan orang bertiga)
Mambaok adaik jo pusako (membawa adat dengan pusaka)
Anak dipangku jo pancarian (anak dipelihara dengan hasil pencarian)
Kamanakan di bimbiang jo pusako (keponakan dibimbing dengan harta pusaka)
Rang kampuang di tangguang jo bicaro (orang kampung dibantu dengan fikiran).

Dalam periode tahap kedua ini berkembang surau ninik mamak belum mengajarkan agama secara kuat yang kuat adat dan ilmu bela diri/ silat. Surau ninik mamak ini didirikan dalam kampung sukunya memperkuat masjid dan balai adat di nagari. Fungsi surau ninik mamak di samping tempat belajar adat dan silat masyarakat Minang itu sebagai sumber mengajarkan nilai budi (prilaku), juga berfungsi tempat tidur keponakan lelaki dari umur 5 tahun ke atas bahkan juga tempat tidur lelaki bujang dan lajang termasuk lelaki yang bercerai dengan isterinya. Dalam perjalanan surau ninik mamak ini masih terkesan terpisah dari surau ulama, bahkan surau ninik mamak ini dinilai oleh ulama ada kesan bahwa dalam pelaksanaan adat terdapat prilaku yang terlarang dalam Islam seperti bersulang, menyabung ayam, berjudi di samping praktek takhayul, bid’ah dan c(k)hurafat (TBC). Fenomena ini menimbulkan perselisihan di antara datuk (penghulu ninik mamak suku) dan tuanku-tuanku (pimpinan alim ulama). Kemudian dengan kebijakan para datuk dan tuangku didukung orang tua cerdik pandai dapat kata sepakat perdamaian adat dan syara’.13
Tahap ketiga, terjadi konsensus antara adat Minangkabau dengan ajaran Islam. Tahap ketiga ini sebenarnya dilatarbelakangi oleh rasa belum puas yang muncul pada diri sejumlah pemuka agama setempat yang menuntut ilmu keislaman di Arab  Saudi. Mereka ingin mengadakan pemurnian Islam tanpa kenal kompromi mirip gerakan wahabi seperti yang ditempuh oleh pemuka agama sebelumnya. Pemuka agama yang berpendapat demikian adalah Haji Miskin, Haji Sumanik, dan Haji Piobang. Mereka diilhami oleh gerakan Wahabi  yang dipelopori oleh Muhammad bin Abdul Wahhab, tokoh pemurni ajaran Islam di Arab Saudi. Mereka ingin agar bentuk pemurnian yang mereka saksikan juga dipraktekkan di Minangkabau. Ide ini mendapat dukungan dari ulama lain yang kebetulan tidak menyukai kompromistis tersebut sehingga terjadi konflik secara terbuka antara ulama pemurni dan pemuka adat beserta golongan ulama lain yang memihak adat istiadat Minangkabau. Gerakan pemurnian agama ini dikenal dengan “Kaum Paderi”. Mereka ingin melaksanakan hukum Islam, baik dalam soal ibadah maupun muamalah (kemasyarakatan) secara murni. Mereka berpendapat bahwa adat Minangkabau yang tidak sesuai dengan ajaran Islam sama dengan adat Jahiliyah dan harus dihabiskan. Pemberantasan dugaan adat jahiliyah oleh ulama pemurni ajaran Islam ini kemudian dikenal dengan paderi.
Gerakan paderi yang satu sisi merupakan social movement dalam pemurnian agama oleh ulama paderi dari perspektif  sejarah berbasis di surau-surau ulama paderi itu.  Dalam gerakannya berhadapan langsung dengan sasaran surau ninik mamak. Surau ulama  saat itu berada di papan atas dengan keras memberikan koreksi total terhadap surau ninik mamak/ surau suku yang dianggap sarang TBC (Takhayyul, Bid’ah dan Churafat) meskipun sudah menggiatkan pengajaran agama (syara’). Karena dianggap surau ninik mamak masih membiarkan adat menganut perilaku bertentangan dengan Islam seperti praktek bersulang minum tuak, menyabung ayam, judi di samping praktek TBC tadi, maka surau ini banyak dirobohkan kaum paderi.
Surau ninik mamak sudah berfungsi sebagai sentra pembinaan trilogi masyarakat Minangkabau yakni agama, adat dan ilmu bela diri/ silat. Surau ninik mamak ini dipimpin oleh « malim » salah satu unsur dari urang nan-4 jinih (U4J – orang yang mempat jenis). Unsur orang yang empat jenis ini ialah (1) penghulu (dengan jabatan datuk sebagai pimpinan teratas setiap suku/ ninik mamak di kampungnya), (2) manti (orang yang cerdik pandai, juru bicara adat dan agama/ syara’), (3) malim (orang yang menguasai agama/ syara’) dan (4) dubalang (hulu balang/ aparat hankam dalam masyarakat adat Minang). Malim dalam mengembangkan agama/ syara’ dan membina masyarakat adat/ kepenakan beragama berbasis pada surau disebut dengan surau ninik mamak. Malim dibantu pula oleh unsur pimpinan agama kolektif yakni urang jinih nan-4 (UJ4 – orang jenis yang empat) yakni : (1) imam, (2) katib (khatib), (3) bila (bilal) dan (4) kadi (qadhi fungsi pembantu pencatat NTCR/ seperti fungsi penghulu ala Jawa). Malim dengan « orang jinih yang empat » ini merupakan elit agama membina surau ninik mamak di Minangkabau dan menjadikan surau itu sebagai « simbol adat » dengan fungsi pusat « budi» (al-akhlaq al-karimah) yang mengajar anak keponakannya berbudi. Surau inilah yang dirobohkan oleh paderi, karena dianggap  sebagai sarang TBC dan diduga basis pengkhianatan ninik mamak.14 Fenomena konflik ulama (pemuka agama) paderi dan ninik mamak (pemuka adat) ini kemudian ditunggangi oleh kepentingan Belanda, pada gilirannya menjadi konflik terbuka  dikenal dengan Perang Paderi abad ke-19 dasawarsa ke-3-4).
Konflik terbuka antara pemuka adat dan pemuka agama (ulama paderi) ini pada akhirnya terdapat juga titik temu. Mereka orang arif bijaksana. Kepiawaian mereka disebut dalam adat «lubuk aka tepian budi « (lubuk akal tepian budi), akal tidak pernah terbentur buntu dan kering, budi tidak pernah terjual. Mereka memperdamaikan adat dan syara’ dengan bijak ibarat « menarik rambut dalam tepung, rambut tidak putus dan tepung tidak terserak«. Terwujudlah « konsesus bersama » yang hasilnya secara prinsipil, sangat menentukan gerakan penguatan adat dan agama dalam membentengi kehidupan dan memberdayakan masyarakat Minangkabau ke depan. Kesepakatan (konsensus) antara ulama dan ninik mamak mengambil tempat di Bukit Marapalam Kabupaten Tanah Datar Sumatera Barat (sekarang) abad ke-19. Konsensus ini kemudian dikenal dengan sebutan “Traktat Marapalam” (Perjanjian Bukit Marapalam).
Dalam pembuatan konsensus ini hadir para pemuka adat dan pemuka agama Islam di Minangkabau. Isi traktat ini tak lain merupakan puncak strategi penyebaran Islam tahap ke-3 dalam lingkungan masyarakat Minangkabau. Dari hasil konsensus inilah lahir falsafah adat Minangkabau sebagai isi traktat Marapalam itu yang berbunyi : “Adat  Basandi Syara’ – Syara’ Basandi Kitabullah (ABS-SBK) dan dalam implementasinya dirumuskan dengan strategi Syara’ Mangato, Adat Mamakai (SM-AM / apa yang dikemukakan oleh syara’ dilaksanakan oleh adat). Selanjutnya dalam pelaksanaan adat bersendikan kepada syara’ dan syara’ bersendikan pula kepada Kitabullah). Jadi, perinsipnya dalam pelaksanaan adat Minangkabau adalah tidak bernama adat Minangkabau kalau betentangan dengan Islam. Tegasnya dalam konsesus Marapalam yang isinya ABS-SBK adalah adat Minangkabau itu adalah pelaksanaan Islam, sangat Islami, yang kemudian menjadi filosofi kehidupan orang Minangkabau.
Jika dilihat proses kelahiran falsafah ABS-SBK ini pada tahap pertama, adat dan Islam berkembang seiring sejalan, tetapi tidak ada titik temu, lalu pada tahap kedua sudah saling merangkul, maka pada tahap ketiga terjadilah penyesuaian (basandi) dan perdamaian adat dengan syara’. Tahap ketiga merupakan puncak proses asimilasi antara adat dengan syara’ yang sudah berjalan ratusan tahun.

Implementasi Adat Basandi Syara’ – Syara’ Basandi  Kitabullah (ABS – SBK) dalam Kehidupan Masyarakat Minangkabau

Dengan adanya konsensus ini, maka secara perlahan-lahan adat Minangkabau menyesuaikan diri dengan ajaran Islam, baik dalam bidang akidah, dalam bidang ibadah, maupun dalam bidang muamalah (sosial kemasyarakatan). Bahkan dengan penerapan konsensus ABS – SBK kemudian ditegaskan adat itu melaksanakan Islam, karenanya tidak adat Minang namanya kalau bertentangan dengan Islam.
Sebagai implikasinya dapat dilihat dalam bidang kemasyarakatan, Islam  menyempurnakan adat seperti terlihat dalam arsitektur sakral pada bangunan masjid dan surau, terdapat menara mempunyai struktur yang terdiri atas simbol bangunan adat (bergonjong) dan simbol arsitektur bangunan Islam (berkubah). Begitu juga arsitektur bangunan sivil dalam wujud rumah penduduk dan rumah gadang adat mengesankan adat berdampingan dengan rumah ibadah.
Dalam sistem pemerintahan pada mulanya di Minangkabau hanya ada lembaga Raja Alam dan Raja Adat yang mengurus pemerintahan adat dan khusus urusan adat, kemudian dilengkapi dengan ada lembaga Raja Ibadat yang mengurus ibadah (persoalan agama Islam). Maka terbentuklah lembaga baru dengan nama “Rajo nan Tigo Selo” (Raja yang tiga bertahta duduk berdampingan), yakni Raja Adat di Buo Lintau, Raja Ibadat di Sumpur Kudus dan Raja Alam di pusat pemerintahan Pagaruyuang (sekarang ketiga daerah ini masuk ke wilayah administratif Kabupaten Tanah Datar)”.
Di bidang pemerintahan juga dikenal dengan Dewan Menteri dengan nama “Basa Ampek Balai” (Besar  Empat Balai), yakni Bandaro di Sungai Tarab, Indomo di Saruaso, Tuan Kadi di Padang Gantiang, dan Makhudum di Sumanik (juga di Tanah Datar). Bandaro, Indomo dan Makhudum merupakan pelaksana tugas bidang pemerintahan dari Raja Alam di Pagaruyung, sedangkan Tuan Kadi sebagai pelaksana tugas dari Raja Ibadat untuk mengurus urusan keagamaan. Pada tingkat bawah juga dikenal dengan “penghulu, manti, dan dubalang”. Setelah Islam  masuk, ditambah dengan “malin”. Penghulu dari kelompok ninik mamak, manti dari kelompok cerdik pandai, dubalang dari kelompok kaum muda dan malin dari kelompok alim ulama.
Wewenang dan hak/ kepiawaian bicara masing-masing digambarkan dalam pepatah sebagai berikut :
Kato panghulu kato manyalasai (kata penghulu kata menyelesaikan)
Kato ninik mamak kato barubuang (kata ninik mamak kata bermanfaat
Kato malin kato hakikaik (kata malin kata hakekat)
Kato dubalang kato mandareh (kata dubalang kata tegas/ keras)

Tanggung jawab  masing-masing digambarkan dalam pepatah:
Penghulu tagak di pintu adat (penghulu berdiiri di pintu adat)
Malin tagak di pintu syara’ (malin berdiri di pintu syara’)
Manti tagak di pintu susah (malin berdiri di pintu kesusahan)
Dubalang tagak di pintu mati (dubalang tagak di pintu mati)

Dalam persyaratan pembentukan sebuah nagari di Minangkabau di samping persyaratan yang sudah ada menurut adat, yaitu suku nan ampek, balai, labuah, tapian, sawah, ladang, pandam pakuburan, ditambah lagi syarat baru sesuai dengan tuntutan syara’, yaitu surau dan musajik (masjid) tempat ibadah.
Perbenturan antara adat Minangkabau dengan ajaran Islam pernah juga terjadi karena pilaku pemangku adat yang tidak memahami syara’ dan t. okoh agama yang tidak memahami adat. Fenomena benturan/ diperbenturkan adat dan syara’ itu terkesan dalam “bidang sosial budaya khususnya seperti menyangkut sistem kekerabatan yang menentukan bentuk perkawinan, kediaman dan pergaulan, serta pewarisan harta”15 terutama puska tinggi. Adat Minang menganut sistem kekerabatan matrilinial, sedangkan ajaran Islam menganut kekerabatan parental. Dalam kehidupan tempat tinggal keluarga menurut adat adalah secara matrilokal, sedangkan ajaran Islam menghendaki tempat tinggal keluarga disediakan oleh suami. Sistem kewarisan yang berlaku dalam adat adalah unilateral kolektif sedangkan menurut ajaran Islam adalah bilateral individual.16
Oleh karena kedua belah pihak (tokoh adat dan syara’) yang berbeda dalam prinsip, maka persentuhan dan penyesuaian berlangsung lama dan berlarut-larut. Pada mulanya terlihat bahwa tidak ada di antaranya yang memberikan tempat ke pada pihak lain. Keduanya berkelanjutan adanya berdampingan tangan. Berkat kepiawaian dan toleransi antara pemuka adat dan pemuka agama, secara perlahan-lahan akhirnya dapat diselesaikan  secara konsensus tanpa menghilangkan hal-hal yang bersifat prinsip baik dalam adat maupun dalam agama.
Suatu konsensus tentang pembagian harta warisan oleh pemuka adat dan pemuka agama adalah “Harato pusako dibagi sacaro adaik, harato pancarian dibagi sacaro hukum faraidh”. Harta pusaka tinggi dalam adat tidak boleh dibagi, tidak boleh dijual dan tidak boleh digadaikan. Ibarat memiliki sebuah pokok tanaman, buah manisnya boleh dimakan, tetapi batangnya tidak boleh dijual dan digadai. Harta pusaka tinggi itu dari mamak turun ke keponakan. Keponakan tidak tahu asal usulnya yang pasti karena tidak baik/ tidak boleh dijual.
Berarti, harta pencaharianlah yang boleh dibagi menurut hukum Islam (faraidh) sementara harga pusaka tinggi bukanlah harta dari si mayit atau yang meninggal itu, tetapi harta turun temurun yang dipusakai dari nenek moyang dahulu, yang dapat dianalogikan sebagai “wakaf” kaum. Harta pusaka yang waqaf kaum ini umumnya berupa tanah, termasuk tanah  sawah, ladang, bintalak, dan sebagainya, lalu rumah dan harta tak bergerak lainnya.
Jika harta pusaka tinggi ini juga dibagi, maka itulah yang salah, karena membagi harta yang bukan punya si mayit. Hukum faraidh, bagaimanapun, sendirinya berlaku untuk harta pencaharian.
Menurut Mochtar Naim, secara sosiologis, bagaimanapun karena ada keharusan melindungi kaum yang perempuan dalam setting budaya matrilineal itu, maka bukan saja tanah dan harta pusaka tinggi lainnya yang tidak dibagi, rumah yang dibikinkan oleh suami yang meninggal pun tidak dibagi menurut hukum faraidh, tetapi tetap tinggal pada istri dan anak-anak perempuannya. Ini bisa jatuh kepada masalah “mashalihul mursalah” demi menjaga muruah dan martabat anggota kaum yang lemah yang perlu dilindungi itu. Perlakuan penghargaan yang tinggi terhadap perempuan dalam adat dan budaya Minangkabau hanya bisa tertandingi oleh hukum Islam yang juga sangat menjunjung tinggi akan muruah dan martabat wanita.17
Karenanya konsensus ABS – SBK yang mendamaikan adat Minangkabau dan agama Islam,  bisa berjalin berkelindan bagai cincin lekat di jari manis. Praktek ini pernah dilembagakan secara spasifik dengan era tipe nagari ABS – SBK, namun kemudian bentuk nagari itu berubah apalagi setelah kemerdekaan struktur dan bentuk wilayah pemerintahan berubah sesuai peraturan perundang-undangan sampai sekarang ke era otonomi menerapkan UU No. 22 tahun 1999 tentang Otonomi Daerah diganti dengan UU No. 32/ 2004 plus UU No. 08/2005 dan Sumatera Barat mengimplementasikan otonomi daerah itu dengan sistim kembali ke nagari berbasis surau dilandasi Perda No. 9/ 2000 dan direvisi dengan Perda No. 02/ 2007, baik otonomi dalam bidang politik, ekonomi, maupun sosial budaya termasuk pendidikan. Dengan sistem otonomi Sumatera Barat kembali ke nagari yang berbasis surau ini bermaksud hendak melaksanakan konsensus ABS – SBK namun yang berjalan belum maksimal, apakah mungkin karena pelaksanaannya setengah hati. Islam dan adat dalam hubungannya dengan pembangunan aspek lain dalam pemerintahan daerah otonomi belum optimal damai, karena terkesan, membangun agama dan adat baru sloganistik pejabat, tetapi pasilitas amat kecil dibanding dengan pasilitas pembangunan aspek lainnya, makanya dalam fenomena ini konsensus ABS – SBK perlu direpitalisasi dalam pemerintahan otonomi Sumatera Barat.
Berbalik kepada persoalan perdamaian adat dan syara’, dalam Islam  yang sama sekali tidak boleh ditolerir adalah yang berkaitan dengan masalah ‘akidah dan ‘ubudiyah, yang kalau dilakukan menjadi syirik  dan bid’ah. Islam sebagai sebuah agama yang di dalamnya terdapat budaya sangat menyadari akan arti dan keberadaan dirinya, di samping juga menyadari akan arti dan keberadaan budaya  dan masyarakat yang didatanginya. Islam datang bukan untuk melenyapkan budaya dan nilai budaya dari daerah-daerah yang dimasukinya, Islam  malah memperkayanya. Misalnya masuknya Islam ke Mesir, ke benua Afrika lainnya, ke Spanyol, ke Persi, ke India dan lain-lain menunjukkan betapa Islam  datang bukan untuk mengikis adat dan budaya-budaya yang ada, tetapi justru memberi jiwa dan semangat baru dan memperkayanya.
Yang penting yang harus diperkenalkan adalah kredo “tauhid” menggantikan kredo-kredo lainnya, sementara urusan ‘amaliyah ijtima’iyah  pada dasarnya sesuai dengan sabda Rasulullah SAW yaitu ; “Kamu yang lebih tahu tentang urusan duniamu”. Dari hasil perkawinan budaya-budaya itulah  lahirnya budaya dan peradaban Islam yang bersifat akomodatif, toleran, integratif dan universal.
Walaupun pada masa-masa tertentu terjadi persengketaan antara adat dan syara’ (Islam) namun wilayah persengketaan  sebegitu jauh lebih pada interpretasi dan praktek pelaksanaannya dan bukan pada aspek filosofinya. Perbedaan intepretasi dan praktek pelaksanaan inilah yang sampai saat ini masih mengganjal dan cukup memenuhi ruang-ruang pengadilan di peradilan adat dan peradilan negeri, baik yang bersifat perdata maupun pidana sekalipun. Masyarakat Minangkabau bahkan cukup direpotkan dengan masalah harta ini, terutama dengan perubahan nilai dan pergeseran orientasi nilai yang terjadi sepanjang abad 20 sampai saat ini.18
Secara sosiologis kita menyaksikan perubahan-perubahan yang cukup signifikan yang sedang terjadi, baik dalam struktur sosial, ekonomi, politik, dan bahkan kebudayaan itu sendiri. Masyarakat Minangkabau sedang beranjak  dari masyarakat agraris berorientasi modal lahan/ tanah pusaka ke masyarakat modern yang berorientasi uang. Kehidupan yang tadinya bersifat komunal beranjak kepada kehidupan yang bersifat individual didominasi hak private. Kehidupan rural berpindah ke kehidupan urban dan global. Yang terjadi adalah juga pendangkalan aqidah dan rasa kebersamaan, serta terjadi pergeseran dari sistem nilai yang bersifat absolut  ke sistem nilai yang bersifat  relatif.
Masyarakat Minangkabau sebagaimana juga dengan masyarakat lainnya di Indonesia, sekarang ini sedang menghadapi goncangan-goncangan budaya  (culture shocks) yang sangat hebat akibat tantangan dan serangan yang datang dari berbagai penjuru dunia secara bertubi-tubi, di samping juga akibat proses pelapukan yang juga terjadi dari dalam sendiri, yang semua ini bisa membahayakan eksistensi dan keberkelanjutannya sendiri.19
Hanya kesadaran dan keinginan untuk mempertahankan harga diri sebagai orang Minangkabau yang bisa menyelamatkannya. Proses globalisasi bisa melemahkan dan melenyapkan semua budaya-budaya daerah tetapi juga bisa menempatkannya sebagai budaya pemandu, manakala nilai-nilai budaya yang dikandungnya bernuansa global dan universal, seperti yang dilakukan oleh Jepang setelah perang dunia, bahkan Islam mempunyai peluang yang lebih besar untuk itu justru karena memiliki nilai budaya yang bernuansa global dan universal itu. Prinsip kesamaan dan kebersamaan sangat menonjol dalam Islam, sedang prinsip keadilan dan kesetaraan di hadapan hukum merupakan prinsip dasar dalam ajaran Islam.20
Sehubungan dengan semua fenomena, masalah dan pemikiran sebagai jawabannya di atas tadi, masyarakat Minangkabau (Sumatera  Barat) pada saat ini tetap mengasosiasikan diri dengan budaya dan nilai-nilai keislaman. Sebagai indikatornya dapat dilihat dengan lahirnya beberapa peraturan daerah  (Perda) seperti Perda “Kembali ke Surau”, Perda “Kembali ke Nagari”, Perda “Pemakaian Busana Muslim”, Perda “Penambahan Mata Pelajaran Tulis Baca al Qur’an dan Budaya Alam Minangkabau (BAM)” dalam kurikulum Muatan Lokal pada setiap jenis dan jenjang pendidikan di Sumatera Barat. Ini semua secara substansial pemerintahan daerah otonomi Sumatera Barat tetap ingin melaksanakan secara optimal konsensus traktat Marapalam yang isinya ABS – SBK.  

Relevansi ABS - SBK pada Masa Sekarang

Dalam pelaksanaan otonomi daerah sekarang, Pemrov, Kabupaten dan Kota se Sumatera Barat sudah memilih sistem otonomi “kembali ke nagari berbasis surau”, maka diktum konsensus traktat Marapalam “Adat Basandi Syara’ – Syara’ Basandi Kitabulla (ABS – SBK) semakin relevan memperkuat identitas sepesifik otonomi daerah di subkultur Minangkabau, jati diri dan filosofi kehidupan masyarakatnya, energy orang Minang menyalakan semangat perubahan dan pembaharuan seerta filter dalam menyaring dan menangkal pengaruh negatif yang datang dari lingstra (lingkungan strategis) lokal, nasional dan internasional yang disarati pengaruh global. Ada beberapa alasan dalam simpul kecil sebab.:
1.       Diktum Karamat “Adat Basandi Syara’ – Syara’ Basandi Kitabullah”  (ABS – SBK) merupakan usaha orang Minangkabau untuk merumuskan jati diri  masyarakat Minangkabau sebagai masyarakat yang beradat dan beragama.
2.       Adanya diktum karamat konsensus ABS – SBK ini merupakan landasan dan motivasi untuk melakukan perubahan masyarakat dan sekaligus sebagai standar dalam menentukan keabsahan setiap perubahan masyarakat.
3.       Dalam menanggulangi dampak negatif dari globalisasi, seperti liberalisme, sekularisme, materialisme, hedonisme, individualisme  maka diktum keramat ini harus dihayati dan diamalkan oleh masyarakat Minangkabau.
4.       Dengan diundangkannya Otonomi Daerah (UU No. 22 tahun 1999 tentang Otonomi Daerah diganti dengan UU No. 32/ 2004 plus UU No. 08/2005 Sumatera Barat mengimplementasikan otonomi daerah itu dengan sistim kembali ke nagari berbasis surau dilandasi Perda No. 9/ 2000 dan direvisi dengan Perda No. 02/ 2007),  maka dimungkinkan adanya otonomi dalam berbagai bidang. Otonomi dalam bidang politik, otonomi dalam bidang ekonomi, otonomi dalam bidang budaya dan kultural. Pemulihan posisi pada tempat yang proporsional konsensus falsafah ABS – SBK, kita pandang sebagai bagian dari  otonomi dalam bidang sosio-kultural.
5.       Dalam era globalisasi di mana masyarakat cenderung berfikir global, maka masyarakat perlu memiliki identitas atau jadi diri. Dengan penerapan diktum karamat konsensus traktat Marapalam ini maka masyarakat Minangkabau tidak akan tercabut dari budayanya, karena ABS – SBK sudah cukup kuat sebagai filter dan daya tangkal terhadap pengaruh negatif.
6.       Kemajuan dan kemunduran yang kita hadapi sekarang dalam bidang sosial budaya telah didominasi barat, maka masyarakat Minangkabau perlu mencari filternya. Falsafah Adat  basandi syara’-syara’ basandi kitabullah” merupakan filter yang sangat relevan dalam menghilangkan dampak negatif budaya barat.


Daftar Pustaka

Abdullah, Taufik, Some Note on Kaba Cinduamato (ed) Cornell Modern in Indonesia Report, 1972.
al-Rasuli, Syeikh Sulaiman, Pertalian Adat dan Syara’, Alih Tulis Hamdan Izmy. Padang: IAIN-IB Press.
Gazalba, Sidi, Konflik Antara Adat Agama dan Pengaruh Barat, Seminar Islam di Minangkabau, Padang, 1960.
Hamka, Sejarah Umat Islam IV, Jakarta : Bulan Bintang, 1976.
Idrus Hakimy. Dt. Rajo Panghulu, Pokok-Pokok Pengetahuan Adat Alam Minangkabau, Bandung : Remaja  Rosyda Karya, 1994.
Naim, Mochtar, Konflik dan Penyesuaian antara Adat  dan Syara’ di Minangkabau, makalah disampaikan pada Seminar Reaktualisasi ABS-SBK, ICMI Orwil Sumatera Barat, di Bukittinggi, tanggal 22-23 Januari 2000.
Ramayulis, dkk. Pemahaman Ninik Mamak Pemangku Adat Minangkabau Terhada Nilai-Nilai ABS-SBK”  Padang : IAIN Imam Bonjol  Press, 2009.
Ramayulis, Sejarah  Pendidikan dan Kebudayaan Islam, Padang : Zaki Press, 2010.
Sjafnir, Dt. Kando Marajo, Sirih Pinang Adat Minangkabau, Pengetahuan Adat Minangkabai Tematis, Padang:  Sentra Budaya dan Pemrov Sumbar, 2006.
Syarifudin, Amir, Pelaksanaan  Hukum Kewarisan Islam dalam Lingkungan Adat Minangkabau, Jakarta : Gunung Agung, 1984.
YY Dt.Rajo Bagindo, Hakekat Kembali ke Surau Basis Nagari (Belajar dari Pengalaman Sejarah Sosial Pendidikan Surau di Luak Limo Puluh Koto (Makalah), Sarilamak: Pemkab 50 Kota, 2010.



Endnotes :

*Prof. Dr. Ramayulis, guru besar ilmu pendidikan di Fakultas Tarbiyah IAIN Imam Bonjol dan PPs. IAIN Imam Bonjol. Tulisan dipersiapkan untuk presentasi Annual Conference on Islamic Studies (ACIS) ke-10 menampilkan kembali Islam Nusantara, di Banjarmasis, Kalsel, November 2010
[1]Sjafnir, Dt. Kando Marajo, Sirih Pinang Adat Minangkabau, Pengetahuan Adat Minangkabai Tematis, Padang:  Sentra Budaya dan Pemrov Sumbar, 2006, h. 10
2Idrus Hakimy. Dt. Rajo Panghulu, Pokok-Pokok Pengetahuan Adat Alam Minangkabau, Bandung : Remaja  Rosyda Karya, 1994, h. 16
3Hamka, Sejarah Umat Islam IV, Jakarta : Bulan Bintang, 1976, h. 79
4Ramayulis, dkk. Pemahaman Ninik Mamak Pemangku Adat Minangkabau Terhada Nilai-Nilai ABS-SBK”  Padang : IAIN Imam Bonjol  Press, 2009, h. 17
5Idrus Hakimi. Dt. Rajo Panghulu, op cit, h. 18
6Ibid
7Ibid,  h. 20
8Amir Syarifudin, Pelaksanaan  Hukum Kewarisan Islam dalam Lingkungan Adat Minangkabau, Jakarta : Gunung Agung, 1984, h. 135
9Ibid, h. 136
10Ramayulis, Sejarah  Pendidikan dan Kebudayaan Islam, Padang : Zaki Press, 2010,                h. 67
11Amir Syarifudin, op cit, h. 137
12Dalam kaidah hukum Islam disebutkan : al ‘adah muhkamah
13Syeikh Sulaiman al-Rasuli, Pertalian Adat dan Syara’, Alih Tulis Hamdan Izmy. Padang: IAIN-IB Press, h.23
14Taufik Abdullah, Some Note on Kaba Cinduamato (ed) Cornell Modern in Indonesia Report, 1972, h. 12
15YY Dt.Rajo Bagindo, Hakekat Kembali ke Surau Basis Nagari (Belajar dari Pengalaman Sejarah Sosial Pendidikan Surau di Luak Limo Puluh Koto (Makalah), Sarilamak: Pemkab 50 Kota, 2010, h. 5
16di Gazalba, Konflik Antara Adat Agama dan Pengaruh Barat, Seminar Islam di Minangkabau, Padang, 1960, h. 3
17Amir Syarifudin, op cit, h. 141
18Mochtar Naim, Konflik dan Penyesuaian antara Adat  dan Syara’ di Minangkabau, makalah disampaikan pada Seminar Reaktualisasi ABS-SBK, ICMI Orwil Sumatera Barat, di Bukittinggi, tanggal 22-23 Januari 2000, h. 9
19Ibid, h. 10
20Ibid.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar